Jakarta, 10 Oktober 2006 (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati, ekosistem, dan genetika yang sangat tinggi. Potensi tersebut berupa keunikan ekosistem, keindahan alam, potensi flora dan fauna langka, keadaan yang masih alami, gejala alam yang fenomenal, serta udara yang bersih. Dalam upaya pemanfaatan dan pengembangan potensi keanekaragaman hayati tersebut, Departemen Kehutanan melibatkan peran para penangkar, pengedar tumbuhan satwa liar (TSL), dan pengusaha pariwisata alam. Pemanfaatan TSL melibatkan penangkar TSL (233 penangkar), pengedar luar negeri (eksportir) hasil penangkaran (113), pengedar luar negeri dari alam (195), dan asosiasi pemanfaat TSL. Di samping itu, memberikan kontribusi terhadap devisa negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan PNBP pada tahun 2005 sebesar Rp.3,159 miliar, yang berasal dari usaha penangkaran Rp.2,378 miliar (sebagian besar berasal dari pemanfaatan arwana hasil penangkaran). Dan pemanfaatan langsung dari alam sebesar Rp.781 juta. Bentuk-bentuk penangkaran meliputi: (a) Pengembangbiakan satwa, dalam bentuk captive breeding (seperti burung, arwana, dan reptil) dan pengembangan populasi berbasis alam (koral dan kupu-kupu), (b) Pembesaran satwa (arwana Irian, buaya), dan (c) Perbanyakan tumbuhan secara buatan (anggrek). Ketentuan jenisnya meliputi jenis dilindungi harus generasi ke 2 (F2), jenis tidak dilindungi F1, dan jenis dilindungi setelah ditetapkan sebagai satwa buru. Sedangkan ijin pengedar luar negeri jenis TSL yang termasuk Appendix I CITES, penangkarannya harus diregistrasi di Sekretariat CITES. Pemanfaatan hasil penangkaran untuk ekspor berupa pets (satwa hidup untuk peliharaan), kulit, barang jadi, daging, dll. Sedangkan pemanfaatan hasil tangkapan alam untuk keperluan ekspor berupa pets, kulit, media tanaman, konsumsi (daging), obat-obatan. Pergeseran kebijakan di sektor kehutanan, dari timber management ke arah multi purpose and multi function management, telah mengubah pola pikir pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi juga mempunyai fungsi yang lebih luas seperti jasa lingkungan, kepariwisataan, serta sumber plasma nutfah. Pelaksanaan pengembangan pemanfaatan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam harus mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan, yaitu konservasi, pendidikan, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan rekreasi. Secara umum pengembangan pemanfaatan wisata alam dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga diharapkan dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kawasan pelestarian alam terdiri dari kawasan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki 50 taman nasional yang terdiri dari 43 darat dan 7 laut, dengan luas keseluruhan 16.380.491,64 ha. Taman wisata alam sebanyak 120, terdiri dari 103 darat dan 17 laut, dengan luas keseluruhan 1.207.426,75 ha, serta taman hutan raya sebanyak 19, dengan luas 337.696,80 ha. Namun demikian, potensi pengembangan pariwisata alam di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal oleh stakeholders. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan rendahnya realisasi investasi di bidang pariwisata alam, keterlibatan tour operator, agen perjalanan, peneliti, serta rendahnya jumlah wisatawan baik asing maupun domestik. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya promosi dan sosialisasi mengenai pemanfaatan dan pengembangan pariwisata alam, adanya faktor gangguan keamanan kawasan, antara lain berupa perambahan, penebangan liar, perburuan liar, serta pencurian hasil hutan, yang menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya hutan, serta stabilitas nasional yang kurang kondusif. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Ir. Masyhud, MM, Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi, mewakili Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732 (T.UM001/B/W001/W001) 10-10-2006 14:51:21

COPYRIGHT © ANTARA 2006