Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mengisyaratkan akan melakukan penerbitan saham baru (right issue) PT Bank BNI Tbk sebesar 10 hingga 15 persen di pasar modal, dari jumlah saham beredar saat ini yang hanya sebesar 0,89 persen. "Saya pikir usulan itu perlu dikaji, termasuk soal batasan maksimal saham BUMN yang bisa dilepas ke pasar modal," kata Sekretaris Menneg BUMN, Said Didu, di Jakarta, Selasa. Said menjelaskan, secara prinsip pelepasan saham di pasar modal apakah melalui penawaran saham perdana (IPO) dan cara secondary offering merupakan bagian dari privatisasi yang dilakukan pemerintah. "Namun, tetap harus mendapat persetujuan dari DPR, termasuk kapan eksekusinya," ujarnya. Sesungguhnya, kata Said, privatisasi dimaksudkan demi berlangsungnya transparansi. "Sebagian besar BUMN diharapkan masuk ke bursa saham," kata Said. Sebelumnya, dorongan agar Bank BNI menambah jumlah saham di pasar modal, setelah saham perusahaan itu tercoret dari daftar indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Saham Bank BNI tidak likuid, sehingga bisa menimbulkan spekulasi yang tinggi di pasar saham. Menurut Said, kalau jumlah saham terlalu kecil nantinya gampang dimainkan pelaku pasar. Selain itu, harga saham di bursa tidak mencerminkan harga yang sebenarnya. Soal batasan maksimal yang akan dilepas, Said Didu mengutarakan yang penting pemerintah tetap menjadi pemegang saham mayoritas. "Bisa dilepas bertahap, tidak harus langsung 49 persen. Ada saatnya harus juga melihat situasi pasar, kalau harga saham yang sudah ada di pasar sedang turun, perusahaan juga bisa melakukan aksi buy back, ujar Said. Ia menjelaskan, sesuai Undang-Undang BUMN No.19 Tahun 2003, ada BUMN yang tidak bisa dilepas ke publik, seperti PT PLN dan PT Pertamina. Namun, katanya, pengalaman menunjukkan bahwa setiap saham BUMN yang dilepas ke publik nilai perusahaan langsung meningkat. Saat ini, lebih dari 50 persen kapitalisasi pasar saham di Indonesia disumbangkan emiten "plat merah" itu.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006