Jakarta (ANTARA News) - Filsuf perempuan Indonesia Karlina Supelli yang juga aktif dalam aktivitas isu-isu kemanusiaan menilai perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia semakin berat.

"Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM semakin berat. Bukan saja berhadapan dengan pelupaan dan ketidaktahuan generasi sekarang, tetapi di atas pelupaan dan ketidaktahuan itu membuat mereka (pelanggar HAM) menjadi pongah," kata Karlina saat memberikan kuliah umum tentang HAM yang diselenggarakan oleh Omah Munir, di Jakarta, Rabu (2/7) malam.

Oleh sebab itu, Karlina yang dipilih oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menyampaikan pidato kebudayaan pada 2013 lalu mendorong agar masyarakat Indonesia melawan lupa atas sejumlah kejadian pelanggaran HAM.

"Mengapa kita perlu mengingat? Dalam sejarah Indonesia, tidak pernah ada penghukuman terhadap pelanggaran HAM berat berhasil diusut, paling hanya sampai pelaksananya," ujar Karlina.

"Padahal hakikat penyelesaian kasus pelanggaran HAM, terkait tiga butir, yakni pengingkaran HAM seperti pembunuhan, penculikan, pemerkosaan dan lainnya, lalu penolakan terhadap korban dan pembiaran pelaku, semua tindakan itu dikawal penggelapan ingatan," tambahnya.

Ia menambahkan perjuangan HAM tidak bisa dikaitkan dengan politisasi HAM terkait kampanye pemilihan Presiden.

"Dalam cuaca politik sekarang ini, setiap perbincangan HAM masa lalu, akan dicurigai politisasi HAM. Tuduhan itu tidak mengena. Jauh sebelum kampanye pilpres, para korban tidak pernah berhenti berjuang. Mereka melakukan aksi, memberikan surat kepada pemerintah namun tidak pernah digubris," kata Karlina.

Sementara itu, Suciwati, istri dari aktivis HAM (alm) Munir, mengatakan banyak generasi saat ini yang tidak mengetahui kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi.

"Kami melihat banyak sekali anak-anak yang tidak tahu kasus pelanggaran HAM. Bagi kami sebagai aktivis HAM, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar. Ketika mendirikan Omah Munir kami berharap bisa membawa perjuangan HAM menjadi gaya hidup mereka, maka salah satu pendekatannya dengan kesenian," jelas Suciwati.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang turut memberikan kuliah umum mengatakan terdapat tiga hal yang menjadi tantangan persoalan HAM, yakni masalah pemahaman yang disebutnya sebagai masalah klasik.

Menurutnya ada dua kutub ekstrim terkait HAM. Ekstrim pertama bahwa HAM bebas tanpa batas.

"Berdasarkan pengalaman, saya masih menemui cara pandang seperti ini sehingga tak ada satu pun yang bisa membatasi hak itu. Ini ekstrim, karena kebebasan yang kita miliki selalu dibatasi kebebasan orang lain," jelasnya.

Selanjutnya, kata Lukman, pemahaman merasa diri paling benar atau begitu fanatik meyakini keyakinan yang dimiliki dan merasa bisa memaksakan keyakinan yang dimiliki ke orang lain.

"Tantangan persoalan HAM lainnya adalah terkait regulasi dan penegakan hukum," ujar mantan Wakil Ketua MPR RI itu. (M047/M026)

Pewarta: Monalisa
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2014