Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum mengumumkan jatuhnya 1 Syawal 1427 H atau Hari Raya Idul Fitri 2006 karena masih harus menunggu hasil pengamatan terhadap posisi bulan yang baru akan dilakukan pada 22 Oktober mendatang. Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghozali Masroeri, di Jakarta, Selasa, menyatakan, NU bisa saja menentukan jatuhnya 1 Syawal dengan menggunakan metode penghitungan (hisab), namun jika selama ini NU bersikukuh menentukan 1 Syawal melalui metode rukyat, hal itu dimaksudkan sebagai bentuk ibadah. Dikatakannya, melihat bulan dengan mata kepala (ru`yatul hilal bil fi`li) untuk menentukan awal bulan Qomariyah atau Hijriah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW. Adapun hisab atau perhitungan menurut cara ilmu pengetahuan (astronomi) hanya berfungsi sebagai pembantu belaka. "Ketika Rasulullah memerintahkan untuk mengadakan observasi atau melihat bulan untuk menentukan awal bulan, ya kita lakukan dengan maksud ta`abbudiy (ibadah atau mengabdi). NU tidak mendasarkan pada hisab karena tak ada perintahnya secara eksplisit," katanya. Menurut Ghozali, prinsip NU itu dikenal dengan "taqdiimut ta`abbud `al at-ta`aqqul (mendahulukan ibadah dari akal) atau "ikmaalut-ta`abbud bit-ta`aqqul (menyempurnakan ibadah dengan akal). Ia menjelaskan, dengan prinsip itu bukan berarti NU tidak menghargai ilmu pengetahuan. Prinsip itu hanya menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat bantu dalam melaksanakan ibadah. "Itu namanya menyempurnakan nilai ibadah dengan menggunakan akal. Sama saja ketika dalam shalat kita diperintahkan untuk menghadap kiblat, maka umat Islam tidak bisa tidak harus menghadap kiblat. Akan tetapi dalam menyempurnakan arah kiblat sehingga tidak menyimpang satu serajat sekalipun perlu digunakan ilmu hisab," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006