Ribuan orang tumpah-ruah seperti lautan manusia di Masjid Empang, Bogor Selatan, Jabar, di malam ke-21 bulan Ramadhan 1427 H untuk berikhtiar mencari malam "Laitul Qadar". Sekitar lima ribu orang lebih dari berbagai kota di seluruh Indonesia itu mencari malam Laitul Qadar atau lebih dikenal malam seribu bulan. Tanpa diberi komando atau aba-aba mereka berkumpul di masjid yang berlokasi di Jalan Masjid No 2 kelurahan Empang, Bogor Selatan selepas adzan Ashar berkumandang. "Awalnya, ratusan orang kemudian bertambah dan terus bertambah sampai menjelang berbuka puasa," kata pengurus masjid, Agus Achmad. Seusai berbuka puasa dan tidak lama setelah itu dilanjutkan shalat Maghrib. Ribuan umat muslim yang sebagian besar berbaju putih polos itu segera mengambil posisi untuk melakukan ibadah yang lain, seperti membaca kitab suci Al-Quran sampai menjelang shalat Isya dan tarawih. Mereka melakukan ibadah kepada sang "Khalik" dengan khidmat seolah-olah sedang berkomunikasi kepada-Nya. Malam-malam ganjil di bulan Ramadhan merupakan malam yang dicari oleh setiap umat Islam di penjuru dunia. Menurut Agus Achmad, kalau beribadah saat malam Laitul Qadar pahalanya akan berlipat-lipat. Dan nilainya sama dengan beribadah selama seribu bulan. "Bayangkan saja, satu malam sama dengan seribu bulan. Sampai mati pun kita tak sanggup meraihnya," kata pria beranak dua itu. Agus menuturkan, kegiatan malam mencari Laitul Qadar yang lebih dikenal dengan "Malam Likuran" itu diadakan semenjak masjid Empang itu berdiri, sekitar abad ke-18. "Malam ke-21 diadakan di Masjid Empang, malam ke-23 dilaksanakan di Condet, Jakarta Selatan. Setelah itu, malam-malam selanjutnya diadakan di masjid lainnya di Jakarta," kata Agus. Seusai menjalankan ibadah shalat tarawih, ribuan orang tersebut masing-masing ada yang berzikir, membaca Al-Quran atau pun berdoa memohon kepada Allah SWT. Mereka melakukan ritual tersebut secara ikhlas dan sukarela tanpa dikomando atau pun disuruh. Dinginnya angin malam, tak membuat beratus-ratus orang yang sebagian besar kaum Adam itu menghentikan kegiatan ibadahnya. Bahkan, mereka tampak semakin khusyuk. Namun, demikian terlihat satu dua orang membuka lebar mulutnya yang menandakan kantuk mulai menyerang. Mereka "membunuh" kantuk dengan mengambil air wudhu yang berasal dari pancuran di sebelah masjid. Sayup-sayup doa-doa pujian mengangungkan asma Allah SWT dan shalawat Nabi Muhammad mulai terdengar dari Masjid Agung Bogor itu. Tatkala adzan Subuh berkumandang, ribuan santri dari berbagai etnis mulai menuju ke tempat wudhu untuk menunaikan shalat wajib dua rakaat itu. Masjid yang resminya bernama Masjid An Nur itu didirikan oleh Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas bersama ulama-ulama besar Indonesia, tepatnya tahun 1828 M. Di sekitar areal Masjid Keramat itu terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah yang merupakan sahabat karib pendiri masjid asal Yaman itu. Saat ini, rumah yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 200 meter persegi itu ditempati oleh Khalifah Masjid, Habib Abdullah bin Zen Al Athas yang merupakan cucu pendiri masjid itu. Di dalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang tidak bisa sembarang orang memasukinya, karena kamar itu merupakan tempat zikir sang khalifah. Bahkan, di rumah yang bangunannya masih asli tersebut terdapat peninggalan pendiri masjid seperti tempat tidur, tongkat, gamis dan sorban yang sampai sekarang masih disimpan utuh. Di rumah itu juga terdapat 100 kitab ajaran agama milik sang Habib. Padahal, kitab-kitab tersebut awalnya berjumlah sekitar 850 buku. Sebagian lagi, menurut Agus disimpan di "Jamaturkhair atau di Rabitoh", Tanah Abang Jakarta. Salah satu kitab karangannya yang terkenal adalah "Faturrabaniah". Konon kitab itu hanya beredar di kalangan para ulama besar. Adapun karangannya yang lain adalah kitab "Ratibul Ahtas" dan "Ratibul Hadad". "Kedua kitab itu merupakan pelajaran rutin yang diajarkan setiap magrib oleh beliau kepada murid-muridnya semasa hidupnya," katanya. Sampai sekarang, kitab kitab tersebut masih sering dibaca oleh para pengunjung, terutama di bulan Ramadhan. Pengunjung, yang juga ada yang berasal dari Arab sering membacanya sembari menunggu "keganjilan" malam Ramadhan di Masjid Empang.(*)

Oleh Oleh Riski Maruto
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006