Jakarta (ANTARA News) - Perbedaan dalam menentukan 1 Syawal atau Idul Fitri selalu terjadi tiap tahun, karena masing-masing Organisasi Massa (Ormas) Islam berpegang teguh pada argumentasi dan dalil yang kuat. Karena itu, perbedaan tersebut sulit disatukan namun tak menyebabkan persatuan diabaikan, kata Ketua Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dr. Umar Shihab, seusai mengadakan pertemuan dengan sejumlah Ormas Islam di Jakarta, Kamis. Pertemuan dengan Ormas Islam, kata dia, rutin diselenggarakan menjelang Idul Fitri karena MUI menyadari akan adanya perbedaan dalam menentukan 1 Syawal. Pada Lebaran kali ini juga masih diperbincangkan apakah jatuh pada 23 atau 24 Oktober 2006. Perbedaan dalam menentukan 1 Syawal, katanya lagi, hendaknya tidak membuat umat Islam saling menjelekkan atau menjatuhkan. Untuk itu MUI, seperti juga yang dibacakan Sekretaris Umumnya Drs. H.M. Ichwan Sam mengimbau agar bila terjadi perbedaan dalam melaksanakan Idul Fitri hendaknya umat mengembangkan sikap toleransi (tasamuh) dan memelihara semangat ukhuwah Islamiyah. Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Ormas Islam, katanya, menyerahkan penentuan tentang Idul Fitri 1 Syawal 1427 H kepada sidang Isbat Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, yang akan dilaksanakan pada 22 Oktober 2006. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Lampung, Drs KH Khairudin Tahmid MH, secara terpisah mengatakan, perbedaan penetapan 1 syawal 1427 Hijriah atau Idul Fitri memerlukan kearifan umat Islam. "Perbedaan penetapan hari raya itu semestinya memerlukan kearifan umat Islam, jangan merasa paling benar karena masing-masing memiliki dasar penghitungan penetapan 1 syawal," kata Khairudin, usai menggelar Istighosah di Kantor PW NU Lampung, di Bandarlampung, Ahad. Ia menjelaskan secara institusi NU, penetapan hari raya atau penetapan awal Ramadan berdasarkan Rukyatul Hilal atau melihat bulan. Sementara organisasi Islam lain untuk menetapkan 1 syawal berdasarkan Hisab. Meski penetapan awal Ramadan tidak terjadi perbedaan waktu, tetapi dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri bakal terjadi perbedaan antar kedua organisasi Islam yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kepala Kantor Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kaltim Achmad Suparno mengatakan, pihaknya telah menerima maklumat dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tentang penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal. PP Muhammadiyah dalam kalender Muhammadiyah telah menetapkan Idul Fitri jatuh pada Senin (23/10). Dalam hisab yang dilakukan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, ijtimak menjelang Syawal 1427 H terjadi pada Minggu (22/10) pukul 12.15 WIB. "Tinggi hilal saat terbenam di Jogjakarta adalah 00 derajat 46`58" (bila sudah wujud)," katanya. Sedangkan menjelang 1 Syawal 1427 H pada Minggu (22/10), wilayah Indonesia terlewati garis wujudul hilal, sehingga terbagi menjadi dua bagian. Bagian sebelah barat, garis wujudul hilal saat terbenam matahari posisi hilal sudah wujud. Sedangkan bagian sebelah timur, garis wujudul hilal pada saat terbenam matahari hilal belum wujud. "Berdasarkan hasil hisab tersebut bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah hukum. Karena itu, pimpinan pusat Muhammadiyah mengumumkan 1 Syawal 1427 H jatuh pada hari Senin (23/10)," tegasnya. Dengan demikian, puasa untuk tahun ini hanya 29 hari. Penentuan hisab PP Muhammadiyah ini praktis berbeda dengan kalender nasional pemerintah yang telah menetapkan Idul Fitri pada 24 Oktober 2006. "Kemungkinan memang tanggal penetapannya berbeda. Tapi sebenarnya sama, cuma metode perhitungannya yang berbeda. Kami menggunakan metode hisab, sementara ada yang menggunakan metode rukyat," tuturnya. Terlepas dari penentuan 1 Syawal itu, MUI mengimbau kepada umat Islam yang telah menyelesaikan ibadah puasa agar tetap waspada terhadap berbagai ragam kemungkaran aktual seperti maraknya paham aliran sesat, pornografi, pornoaksi, terorisme, korupsi, suap, perzinahan, perselingkuhan, perjudian, anarkis, permusuhan, penistaan terhadap wanita dan anak-anak, kriminalitas dan penyakit sosial lainnya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006