Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan maintenance, repair, and maintenance terbesar Indonesia, PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia, tertarik pada penerapan Electric Green Taxiing System (EGTS) dari Honeywell, yang dinilai bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi pada banyak hal.

CEO PT GMF, Richard Budiharianto, di Jakarta, Kamis, menyatakan, "EGTS bisa sangat membantu MRO seperti kami. 10 tahun lalu, hanya memerlukan 20 menit menggeser pesawat terbang dari hanggar ke apron, sekarang bisa berjam-jam."

Kenyataan itu, katanya, menyimbulkan betapa pesat pertumbuhan industri penerbangan di Tanah Air, yang dinyatakan sekitar 15 persen setahun.

"Pesawat terbang yang mendarat pasti paling diutamakan, lalu yang lepas-landas, barulah pergerakan pesawat terbang dari hanggar ini yang terakhir. Bisa dibayangkan, berapa bahan bakar yang terbuang dan lain sebagainya," kata dia.

Dia nyatakan itu dalam sesi terakhir Tackling Indonesia's Toughest Challenges yang digagas Honeywell di Indonesia dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Para ahli penerbangan, praktisi dan pengamat penerbangan hadir pada gelaran tiga hari di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat, @america, di antaranya CEO Honeywell Indonesia, Alex Pollack.

EGTS, menurut penjelasan Honeywell, merupakan sistem penggerak pesawat terbang selama di darat tanpa memanfaatkan mesin jet, melainkan motor listrik dari subsistem auxiliary power unit dipadukan dengan berbagai sensor.

Hingga saat ini, EGTS belum diaplikasikan secara massal pada satupun armada maskapai penerbangan nasional. "Ini sistem mandiri, bisa dipasang tanpa tergantung sistem lain pada pesawat terbang," kata Pollack.

Sesuai dengan label green yang disematkan, EGTS dari Honeywell ini bisa mengurangi secara signifikan emisi gas buang mesin jet, juga bebas dari biaya sewa mobil tunda, dan waktu operasional. EGTS pertama kali didemonstrasikan secara terbuka pada 2011.

Jika EGTS diaktifkan --telah bisa diaplikasikan pada banyak merek dan tipe pesawat komersial utama dunia-- mesin jet dimatikan dan pesawat terbang digerakkan mesin listrik. Barulah setelah pesawat terbang diijinkan lepas-landas, mesin jet dinyalakan dengan daya maksimal.

Selama proses taxi, diketahui bahan bakar yang dikonsumsi pesawat terbang komersial kelas Boeing B-737 sekitar enam persen (data di Eropa). Dari sisi bahan bakar, angka inilah yang bisa dipangkas.

"Belum lagi biaya tenaga kerja para teknisi yang mahal, dibayar perjam kerja. Kalau dengan kondisi sekarang, mereka cuma bisa dua kali menggeser pesawat terbang," kata Budihadianto.

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2014