Jakarta (ANTARA News) - Penggunaan gas untuk pembangkit listrik guna mendapatkan energi yang murah dan bersih menghadapi kendala pasokan gas yang tidak stabil, bahkan cendrung menurun di dalam negeri. Direktur Pengkajian Energi UI, DR Widodo Purwanto, di Jakarta, Selasa mengatakan pasokan gas yang tidak stabil itu akan mengganggu program penurunan penggunaan BBM ke gas untuk menekan subsidi bagi pembangkit listrik yang ada di Indonesia. Ia mengatakan masalah tersebut terkait dengan masih minimnya infrastruktur transportasi gas untuk memenuhi permintaan, di samping ketidakberpihakan pemerintah yang tegas soal penggunaan gas untuk kepentingan domestik. "PLN (Perusahaan Listrik Negara) barangkali mau saja (beralih) ke gas, karena nilai harga per kalori gas lebih murah dibandingkan dengan BBM, tetapi karena infrastruktur belum memadai, sulit," katanya. Ia menilai penggunaan gas untuk pembangkit listrik sangat tepat terutama di Jawa yang padat penduduknya, karena gas tidak hanya menghasilkan energi yang murah dibandingkan BBM, namun juga bersih sehingga mengurangi polusi dibandingkan BBM maupun batubara. "Kalau batubara emisi dan polusinya tinggi, karbondioksida dan emisi-emisi lainnya juga tinggi, sedangkan gas paling bersih dan tren di dunia juga menggunakan gas untuk pembangkit untuk menekan polusi," kata Widodo. Selain itu, katanya, pembiayaan pembangkit gas juga lebih murah dibandingkan BBM maupun batubara jika dihitung mulai dari biaya investasi modal (capital expenditure), biaya operasional dan pemeliharaan, dan penggunaan bahan bakarnya. "Dari data literatur yang saya miliki investasi untuk batubara mencapai 1.125 dolar AS per KWe (Kilo Watt electric), sedangkan turbin gas investasinya sekitar 800 dolar AS per KWe. Tapi dengan catatan bukan pembangkit listrik buatan Cina yang digunakan, tapi dari Eropa dan Amerika," kata Widodo. Oleh karena itu, lanjut dia, bila pemerintah ingin mendapatkan energi listrik yang murah dan bersih, maka perlu dibangun infrastruktur gas di negara kepulauan ini dengan memadai, baik berupa pembangunan pipanisasi, pabrik dan terminal LNG, maupun infrastruktur pelabuhan untuk membawa gas dengan kapal. Ia mengemukakan pihaknya memiliki literatur mengenai skala ekonomis pengangkutan gas, misalnya distribusi gas ke pengguna di atas 3.000 km lebih ekonomis menggunakan LNG, sedangkan dibawah 3.000 km lebih ekonomis menggunakan pipa. "Bila pemerintah ingin mendapatkan energi murah dan banyak namun mengabaikan aspek lingkungan, maka batubara bisa jadi pilihan utama. Tapi bila ingin murah dan bersih, gas merupakan bahan bakar yang tepat, namun infrastrukturnya harus dibangun," katanya. Prihatin Sementara itu, Juru Bicara PLN, Mulyo Adji, mengatakan pihaknya memiliki komitmen untuk menggunakan gas bagi pembangkit listrik yang dimilikinya lebih banyak lagi. "Bila gas-nya 'available' (tersedia), tentu PLN akan memakainya secara maksimal, termasuk untuk pembangkit minyak (BBM) yang bisa dimodifikasi menjadi pakai gas," ujarnya. Namun, lanjut dia, kenyataan di lapangan pasokan gas di dalam negeri sangat memprihatinkan. Menurut Mulyo, pada tahun ini saja realisasi penggunaan gas hanya 20 persen di bawah rencana tahunan perusahaan (RKAP). "Sejak Tahun 2000 sebenarnya PLN sudah menunggu gas untuk PLTGU Muara Tawar, PLTGU Tambaklorok, dan PLTGU Grati, namun sampai sekarang belum mendapatkan pasokan gasnya, sehingga terpaksa sampai saat ini dioperasikan dengan BBM," katanya. Ia mengakui biaya produksi pembangkit listrik menggunakan gas memang lebih murah dan bersih. Namun berdasarkan bahan bakarnya biaya pembangkit termurah adalah batubara (Rp200-Rp250 per kwh), gas (Rp300-Rp350 per kwh), dan BBM (Rp1500-Rp1700 per kwh). "Bila proyek pembangunan pembangkit batubara 10.000 MW selesai pada 2009-010 nanti, diharapkan prosentase pemakaian BBM bisa di bawah 10 persen, sehingga hal ini akan memperbaiki struktur biaya penyediaan tenaga listrik," ujar Mulyo. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006