Bangkok (ANTARA News) - PM Thailand, Surayud Chulanont, yang mengunjungi wilayah selatan yang berpenduduk mayoritas Muslim, mengatakan ia mendukung cara hidup Islam tapi menentang pemisahan diri dari kerajaan yang berpenduduk mayoritas beragama Buddha itu. Surayud terbang ke ibukota propinsi Yala untuk bertemu dengan para mahasiswa dan guru-guru sebelum mengunjungi sekolah Islam terbesar di daerah itu. Tetapi dalam satu tanda nyata aksi kekerasan berlangsung, dan skala masalah yang dihadapi, dua anggota kelompok garis keras dan seorang tentara tewas dalam baku tembak di propinsi yang sama ketika pesawat Surayud mendarat. Sebuah bom meledak di pasar ikan, Rabu pagi di propinsi tetangga Pattani. Polisi mengatakan tidak ada yang cedera dalam serangan itu. PM itu, yang diangkat setelah kudeta tidak berdarah 19 September, mengemukakan pada pertemuan koresponden asing Selasa malam bahwa satu-satunya syarat bagi perundingan perdamaian dengan para pemimpin gerilyawan di tiga propinsi selatan itu adalah mereka mencabut tuntutan-tuntutan bagi kemerdekaan. "Ini adalah satu-satunya syarat. Tidak memisahkan diri," katanya, yang nenegaskan bahwa gencatan senjata bukan satu prasyarat bagi perudingan-perundingan. "Satu-satunya syarat kami, kami tidak dapat menyetujui pemisahan diri wilayah kami di manapun, ini adalah kekuasaan atas tanah, kami tidak akan dipisahkan". Surayud menambahkan bahwa memberikan satu otonomi tingkat tertentu bisa dibicarakan dan menekankan bahwa ia menghormati cara hidup Muslim. "Mereka mesti menjalankan hukum Islam, Syariah, karena cara hidup yang mereka biasa praktekkan dalam kehidupan emreka sama sekali berbeda dari kami," katanya, seperti dilansir AFP. PM itu menegaskan bahwa penyelesaian aksi gerilya di propinsi-propinsi Yala, Pattani dan Narathiwat, tempat hampir 1.600 orang tewas dalam aksi kekerasan separatis dan tindakan lainnya sejak Januari 2004, adalah satu prioritas penting. Wilayah berpenduduk mayoritas beragama Islam yang berbatasan dengan Malaysia itu adalah sebuah kesultanan yang merdeka yang dicaplok Thailand tahun 1902. Aksi kekerasan separatis meletus sejak saat itu. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006