Jakarta (ANTARA News) - Negara-negara di kawasan Eropa akan melirik Indonesia sebagai sumber untuk mendapatkan bahan bakar nabati (biofuel), sehingga Indonesia harus cerdas menyikapi peluang itu. "Yang dilihat potensial oleh mereka adalah Indonesia dan Brazil. Mereka sedang dalam tahap awal untuk meningkatkan penggunaan biofuel secara signifikan, kita harus proaktif," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi, di Jakarta, Senin. Ia menyebutkan usaha mengembangkan biofuel juga dilakukan oleh negara-negara Eropa sebagai jawaban atas kebutuhan untuk melakukan diversifikasi energi, baik karena alasan kelestarian lingkungan maupun akibat kemendesakan menyusul naiknya harga bahan bakar fosil (fossil fuel). Komisi Eropa (EC) telah memberikan arahan bahwa pada 2010, 5,75 persen bahan bakar untuk transportasi harus berasal dari biofuel. Jika di Indonesia, biofuel diartikan sebagai semua bahan bakar yang berasal dari tumbuhan, maka di Eropa diartikan sebagai bahan bakar yang berasal dari tumbuhan yang dipergunakan untuk kendaraan saja. Arahan EC itu akan bersifat mandatory, artinya menurut UU, jumlah tersebut harus dipenuhi. UU itu direncanakan akan diajukan ke Parlemen Eropa akhir 2006 dan diperkirakan mulai diundangkan akhir 2007 atau awal 2008. EC juga telah menyatakan bahwa biofuel untuk Eropa tidak dapat dipenuhi oleh produksi dari Eropa sendiri. Saat ini kebutuhan bahan bakar untuk transportasi di Eropa mencapai sekitar 38 juta ton per tahun, dengan kontribusi biofuel baru mencapai sekitar 1,0 hingga 1,5 persen. "Meningkatnya konsumsi biofuel lebih dari 1,5 juta ton dalam 3 tahun merupakan tantangan besar bagi industri Eropa, terutama karena telah timbul kekhawatiran kompetisi sumber daya untuk biofuel dan sumber daya untuk pangan," katanya. Menurut dia, Eropa juga telah merintis "second generation biofuel technology" yang dapat membuat semua biomassa, termasuk sampah, daun, batang pohon, dan sebagainya sebagai bahan baku biofuel (cair). "Selama mengandung selulosa, semua materi bisa diubah diubah jadi biofuel," katanya. Perlu mencermati Indonesia, lanjutnya, perlu mencermati perkembangan biofuel di Eropa, khususnya terkait dengan UU yang akan dikeluarkan, karena hal yang berlaku di Eropa seringkali menjadi acuan banyak negara di dunia sekaligus juga dapat digunakan sebagai dasar untuk berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan di Indonesia. Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati antara lain definisi, standarisasi dan sertifikasi biofuel yang menerapkan prinsip ramah lingkungan (only fuel produce in sustainable way), sehingga kepentingan pengembangan biofuel Indonesia dapat diuntungkan dengan definisi itu. Menurut dia, hal yang juga perlu diperhatikan adalah agar peluang ekspor bahan baku biofuel dan produk biofuel sendiri ke Eropa tidak kemudian justru mengurangi peluang keberhasilan Indonesia dalam mendiversifikasi bahan bakarnya di dalam negeri. "Pasar Eropa akan sangat menarik karena insentif yang akan diberikan. Misalnya, jika fossil fuel dikenakan pajak hingga 70 persen, maka biofuel kemungkinan dapat dibebaskan dari pajak tersebut," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006