Jakarta (ANTARA News) - Tragedi penembakan yang menimpa majalah satir asal Perancis Charlie Hebdo minggu lalu mengundang perdebatan antara pelanggaran HAM dan kasus kriminal.

Tragedi tersebut menewaskan 12 orang, termasuk di dalamnya redaktur, jurnalis dan kartunis dimana banyak orang menilai bahwa peristiwa ini menciderai hak berpendapat dan berekspresi.

"Saya tidak setuju dengan pembunuhan para wartawan karena itu adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, pada saat yang sama saya juga menolak racism dalam bentuk apapun, tetapi apakah kemudian saya punya hak untuk menghentikan mereka? Tentu tidak," kata Yuyun Wahyuningrum, Senior Advisor on ASEAN and Human Rights.

"Saya sangat menyesali terjadi penembakan itu dan saya berduka cita untuk korban," lanjutnya.

Menurut Yuyun, Apabila pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap orang yang menembak, apabila pemerintah membiarkan saja, itu pelanggaran hak asasi manusia.

"Pada saat ini apabila pemerintah melakukan penangkapan, itu namanya the rule of law, jadi harus dibedakan antara pelanggaran HAM dan kriminalitas, kita lihat apakah pemerintah mengambil action dalam hal ini apa tidak, kalau mengambil action berarti itu murni kriminalitas," ujarnya.

Namun, karya Charlie Hebdo yang terkadang dinilai sangat racism dan menyudutkan salah satu agama juga menjadi perdebatan.

"Apabila pemerintah membiarkan Charlie Hebdo membuat racism itu juga diperdebatkan, apakah itu pelanggaran terhadap freedom orang lain?" kata Yuyun.

"Kalau engga suka ya engga usah dibaca, jadi bukan dengan cara kekerasan hal ini harus diatasi, tapi lebih dengan alternatif effort, seperti memberikan pesan-pesan damai," tambahnya.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2015