Bangkok (ANTARA News) - Pemerintah sementara Thailand hari Selasa memutuskan mencabut sebagian keadaan darurat, yang diberlakukan di seluruh negara itu ketika tentara merebut kekuasaan dengan kup pada September lalu. Menteri Pertahanan Boonrawd Somtas mengatakan kepada wartawan sesudah sidang kabinet bahwa pemerintah memutuskan mencabut undang-undang darurat di Bangkok dan 40 provinsi, mulai dari waktu raja secara resmi mensahkan langkah itu. Ada 75 provinsi di negara itu. Ke-35 provinsi lain, yang masih di bawah keadaan darurat, termasuk ketiga provinsi paling selatan, tempat perjuangan Muslim berlangsung dan provinsi di wilayah utara dan timur laut, yang merupakan kubu Perdana Menteri terguling Thaksin Shinawatra. Pemimpin tentara melancarkan kup tak berdarah pada 19 September dan menumbangkan pemerintah terpilih pimpinan Thaksin, yang dituduh melakukan penghianatan, perkoncoan dan korupsi. Pemimpin tentara Thailand hari Senin menyatakan meminta pemerintah mencabut keadaan darurat di lebih dari separuh negara itu dalam pengurangan pertama kekuasaan tentara sejak kudeta September. Jenderal Sonthi Boonyaratglin mengemukakan kepada wartawan bahwa hanya Bangkok dan daerah selatan dan utara serta timurlaut akan tetap berada dalam keadaan darurat. Kabinet bersidang Selasa untuk membahas usul itu. Setiap keputusan harus disetujui Raja Bhumibol Adulyadej. Sonthi mengatakan telah mengusulkan kepada Perdana Menteri Surayud Chulanont bahwa keadaan darurat akan dicabut di beberapa bagian negara, kecuali propinsi di perbatasan dan di Bangkok, yang diserahkannya kepada perdana menteri untuk memutuskannya. "Keadaan darurat akan dicabut di sekitar 40 propinsi," katanya dikutip Kyodo. Thailand memiliki 76 propinsi, termasuk Bangkok. "Terserah pada kabinet untuk memutuskan kapan keadaan darurat akan dicabut. Ia tidak dapat memutuskannya," kata Sonthi. Ia mengatakan ingin tetap mempertahankan keadaan darurat di propinsi selatan, yang berpenduduk sebagian besar Muslim, tempat suku Melayu meningkatkan perlawanan berdarah terhadap pemerintah. Tapi, sebagian besar dari propinsi tempat keadaan darurat akan tetap dipertahankan adalah wilayah utara, yang berpenduduk padat, dan timurlaut, yang masih dianggap menjadi benteng pendukung Thaksin. Kendati Sonthi mengatakan akan mengizinkan Surayud memutuskan mencabut keadaan darurat di Bangkok, ia memperingatkan bahwa ia memberikan tanggungjawab kepada perdana menteri atas peristiwa yang mungkin terjadi di ibukota itu. "Jika kami mencabut keadaan darurat dan sesuatu terjadi, perdana menteri adalah yang memegang tanggungjawab utama," tambahnya. Sonthi mengangkat Surayud sebagai perdana menteri, tapi penguasa memiliki kekuasaan untuk memecatnya. Kendati Amerika Serikat dan Eropa Bersatu mendesak pencabutan keadaan darurat itu, Sonthi menolak melakukanya, karena ada yang disebutnya "arus terpendam" anti-kudeta. Pemerintah -yang diangkat tentara- kuatir Thaksin, yang dua kali terpilih menjadi perdana menteri, berusaha kembali ke Thailand dan pendukungnya bisa bangkit menentang kudeta itu. Thaksin berada di New York ketika tentara menyingkirkannya 19 September. Ia kemudian tinggal sebulan di London, tempat ia memiliki rumah. Pada bulan lalu, ia mengunjungi negara Asia, yang menimbulkan dugaan kemungkinan ia merencanakan pulang. Panglima Angkatan Udara Chalit Pukbhasuk, anggota tentara penguasa, kepada kantor berita Prancis AFP pekan lalu menyatakan kelompok anti-kudeta berusaha menjelek-jelekkan penguasa dengan menyebarkan pamplet menuduh para jenderal berencana tetap berkuasa setelah pemilihan umum, yang dijanjikan diselenggarakan Oktober 2007.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006