Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah instansi pemerintah masih tidak efektif dan boros, ditandai dengan kepatuhan yang masih rendah atas peraturan perundang-undangan keuangan, terutama dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Hal itu dikatakan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution, dalam sambutannya ketika menyerahkan ikhtisar hasil pemeriksaan semester I Tahun Anggaran (TA) 2006 kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Kamis. Anwar memaparkan penerimaan negara yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan denda keterlambatan, serta Dana Pembinaan Penyelenggaraan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (DP3TKI) yang dikelola oleh sejumlah departemen dan lembaga belum maksimal atau belum diserahkan kepada negara. Jumlah dana itu, menurut Anwar, mencapai Rp186,15 miliar, 3,05 ribu euro, dan 88,88 ribu dolar AS. Selain itu, terjadi ketidakhematan dalam pemborongan pekerjaan pembangunan sarana dan prasarana, serta pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pemerintah pada tujuh kementerian/lembaga yang mencapai Rp43,37 miliar dan 474,52 ribu dolar AS. Sementara itu, terjadi pengeluaran negara yang tak efektif di enam kementerian/lembaga sebesar Rp33,40 miliar. Sedangkan sembilan kementerian/lembaga tercatat tidak maksimal melakukan pekerjaan dan atau melakukan pembayaran lebih yang merugikan negara sebesar Rp30,83 miliar dan 63,50 ribu euro. Salah satu dari kementerian itu adalah Departemen Perhubungan dengan nilai kerugian negara sebesar Rp15,15 miliar. "Kenyataan tadi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan instansi pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara masih memerlukan perhatian serius dari pihak terkait," katanya. Selain terjadi di pusat, menurut Anwar, pengelolaan uang yang belum maksimal juga terjadi di tingkat daerah. Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan 77 Pemerintah Daerah (Pemda) melakukan pemborosan keuangan sebesar Rp170,68 miliar yang sebagian besar digunakan untuk honor dan tunjangan kepada pimpinan dan anggota DPRD, pejabat negara dan daerah. Selain itu, pemborosan juga terjadi karena pengalokasian dana untuk bantuan instansi vertikal. Tercatat 23 Pemda menyertakan modal pada sejumlah Bank Pembangunan Daerah dan perusahaan daerah yang belum jelas status hukumnya dan tidak sesuai dengan peraturan daerah. Penyertaan modal itu mencapai Rp1,17 triliun. Lebih lanjut Anwar mengatakan ada 23 Pemda yang penguasaan aset daerah dan penyertaan modal pemerintah desa tidak dapat ditelusuri karena tidak tercatat dalam neraca atau Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Jumlah dana yang tidak tercatat itu mencapai Rp2,83 triliun. Juga ditemukan pendapatan dan dana bantuan dari pemerintah yang dikelola Pimpinan Daerah atau instansi pemungut di luar sistem APBD. Total dana itu mencapai Rp3,03 triliun dari 44 daerah. Hasil pemeriksaan BPK pada Semester I Tahun Anggaran (TA) 2006 itu diprioritaskan pada Laporan Keuangan 2005. Laporan Keuangan yang diperiksa meliputi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Departemen/Lembaga (LKD/L), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Keuangan Bank Indonesia, Laporan Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Laporan Keuangan BUMN/BUMD. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006