Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris menyambut positif penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI rate), namun mengharapkan penurunan terus berlanjut sehingga bunga pinjaman mencapai level 8 hingga 10 persen guna meningkatkan kinerja sektor riil. "Kalau mau bersaing dan sektor riil bergerak paling tinggi bunga (pinjaman) sekitar 10 persen atau delapan persen," ujarnya ketika ditemui di sela-sela Pameran Mutumanikam Nusantara 2006, di Jakarta, Jumat. Ia menilai dengan suku bunga pinjaman yang berkisar antara 8 hingga 10 persen akan meningkatkan kinerja dan kemampuan daya saing sektor riil yang kini tengah lesu pasca kenaikan harga BBM tahun lalu. Fahmi berharap dengan penurunan suku bunga BI, maka bank pun semakin ekspansif menyalurkan kreditnya terutama untuk investasi dan modal kerja, sehingga sektor riil bisa tumbuh lebih tinggi. Tahun ini Deperin menargetkan pertumbuhan industri nasional mencapai rata-rata sekitar 6,0 persen. Sampai triwulan ketiga industri nasional tumbuh sekitar lima persen dibawah pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan target awal industri nasional bisa tumbuh di atas 7 persen. Berbeda dengan Fahmi, Menteri Perdagangan (Mendag), Mari Elka Pangestu, di sela-sela acara yang sama mengatakan bahwa penurunan BI rate dan suku bunga pinjaman bukan satu-satunya faktor yang menentukan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. "Penurunan BI rate berarti inflasi kita sudah terkendali, dan itu bagus, tapi itu bukan satu-satunya faktor untuk meningkatkan daya saing ekspor kita," ujarnya. Menurut Mari, dalam struktur biaya produksi, biaya bunga pinjaman bank relatif kecil, dibandingkan biaya bahan baku. Oleh karena itu, ia menilai, distorsi terhadap pengadaan dan distribusi bahan baku harus dihapuskan agar bahan baku mudah diperoleh dan murah, sehingga mampu meningkatkan daya saing produk nasional. Namun, diakuinya, suku bunga pinjaman di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara pesaing Indonesia, seperti Cina yang bunga pinjamannya sekitar lima sampai enam persen, atau India yang juga menyediakan kredit khusus bagi industri tertentu. "Tapi, kalau sarana dan prasarana kita bagus, daya saing kita akan meningkat walaupun bunga masih seperti sekarang. Nampaknya persoalan sudah bergeser dari suku bunga sebagai penentu daya saing, ke infrastruktur," demikian Mari Pangestu. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006