Medan (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia didesak segera meratifikasi dua produk hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai anti perdagangan anak untuk menekan jumlah kasus itu, kata Ketua Yayasan KKSP. Ketua Yayasan KKSP (Pusat Informasi dan Pendidikan Hak Anak), Ahmad Taufan Damanik, di Medan, Selasa, mengatakan kedua produk hukum PBB itu, masing-masing Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children atau biasa disebut Palermo Protocol. "Sebenarnya Indonesia sudah menandatangani kedua protokol itu, namun sampai sekarang belum melakukan ratifikasi," katanya. Menurut dia, sebagai negara peserta, Indonesia berkewajiban melakukan perlindungan dengan menyusun langkah-langkah judisial maupun administratif untuk mengkriminalisasi para pelaku. "Sayangnya, Indonesia sampai saat ini belum juga meratifikasi pengaturan tambahan khusus mengenai perdagangan anak atau Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, meski pun sudah menandatanganinya pada 24 September 2001," katanya. Indonesia juga sudah menandatangani Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, pada 12 Desember 2000, namun ini juga belum diratifikasi. Dengan belum diratifikasi dua instrumen hukum internasional ini belum menjadi bagian hukum nasional Indonesia. Padahal, kedua instrumen hukum internasional itu, katanya selain secara prinsipil melakukan kriminalisasi terhadap segala bentuk perdagangan anak, juga mengatur prosedur kewajiban negara untuk memerangi perdagangan anak. Instrumen internasional ini pun mengatur bagaimana seharusnya. Menurut dia, ratifikasi ini perlu karena kasus-kasus perdagangan maupun eksploitasi anak cenderung meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Salah satunya, pola rekrut dan pengiriman anak-anak yang dijadikan korban. Berbagai modus operandi di belakang kasus-kasus perdagangan anak biasanya terjadi untuk tujuan eksploitasi seksual. Anak-anak direkrut untuk kemudian dipekerjakan di industri seks. Modus lain menunjukkan banyak anak-anak diperdagangkan untuk tujuan dipekerjakan sebagai buruh di pabrik-pabrik mau pun Pembantu Rumah Tangga (PRT). Modus lain yakni perdagangan anak dengan tujuan penjualan organ tubuh, perdagangan bayi, drug abuse, kawin kontrak, mau pun untuk keperluan tentara anak. Meski kasus itu lebih sedikit jumlah secara kuantitatif dibandingkan dengan dua modus lainnya, tetapi trennya dari tahun ke tahun terus meningkat, katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006