Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) meminta, masyarakat tidak apriori terhadap penempatan limbah hasil kegiatan industri pertambangan (tailing) mengingat perkembangan teknologi pemrosesan tambang yang kian canggih dewasa ini. Hanya saja, pertimbangan utama dalam memilih sistem penempatan limbah atau tailing tersebut tetap harus didasari pada dampaknya terhadap lingkungan hidup dan bukan atas pertimbangan biaya, tegas Ketua Umum Perhapi Prof.Dr.Ir. Irwandy Arif dalam seminar penanganan limbah pertambangan di Kampus Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Kamis. Menurut Guru Besar Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, dari hasil kajiannya selama ini menunjukkan bahwa penempatan limbah pertambangan tidak selalu berdampak negatif bagi lingkungan sepanjang dilakukan dengan mempertimbangkan kaidah lingkungan hidup yang bertanggungjawab. Misalnya dengan melakukan pembuangan tailing di dasar laut dimana ada kewajiban bagi perusahaan tambang untuk menghindari penempatan limbah yang mengandung unsur B3 (bahan berbahaya dan beracun), melainkan jenis limbah yang dapat diuraikan di alam termasuk limbah organik dan unsur hara. Jika hal tersebut dilakukan sesuai prosedur yang benar maka menurut Irwandi Arif, penempatan limbah pertambangan ke laut (submarine tailing placement/STP) merupakan cara yang paling aman ketimbang pembuangan limbah di darat atau sungai. Namun pembuangan dengan metode STP bisa dilakukan asalkan tailing dialirkan melalui pipa ke dasar laut di kedalaman lebih dari 100 meter dari permukaan laut atau di bawah lapisan "euphotic" (zone laut yang paling banyak menerima sinar matahari). "Begitu terdeposit di palung dasar laut, padatan tailing itu secara umum stabil dan tidak mudah tercampur karena bencana alam seperti gempa bumi," katanya. Selain itu, limbah pertambangan juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya yang dapat bermafaat bagi masyarakat luas. Salah satu contohnya, kata Irwandy, pemanfaatan tailing di PT Freeport Indonesia untuk pembuatan infrastruktur jalan dan jembatan di Timika, Papua. Proyek pembuatan infrastruktur dari bahan limbah pertambangan hasil kerjasama dengan ITB tersebut sangat berguna untuk membuka akses transportasi bagi masyarakat Timika, katanya. Sementara Prof.Dr.Ir. Asis Djajadiningrat dari UI mengatakan, pada dasarnya penempatan limbah hasil tambang baik di darat maupun di laut merupakan persoalan yang cukup rumit karena masing-masing sistem itu mempunyai sisi positif dan negatifnya dan kompleksitas masalah yang harus dikaji. Namun kedua sistem itu terbukti aman diaplikasikan di banyak operasi pertambangan di seluruh dunia sepanjang dilakukan sesuai kaidah perlindungan lingkungan hidup yang berlaku. "Aplikasi kedua sistem dan teknologi itu sama-sama punya kelebihan dan kekurangan terkait aspek geografis di tempat industri pertambangan tersebut berada," katanya.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006