Jakarta (ANTARA News) - Nurmahmudi Ismail merasa dikelabui selama ia menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada periode 1999 hingga 2001 terkait pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) enam perusahaan di Kalimantan Timur. Hal tersebut dinyatakannya saat menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Gubernur Kalimantan Timur non aktif Suwarna Abdul Fatah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, Kamis. "Ya itu salah satu indikasinya," kata Nurmahmudi Ismail menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Gusrizal yang menyatakan apakah dengan sejumlah hal yang terungkap dalam persidangan menyebabkan Nurmahmudi merasa dikelabui oleh anak buahnya. Nurmahmudi Ismail yang memberikan keterangan di pengadilan setelah mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution tersebut memaparkan bahwa dikeluarkan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) seharusnya setelah adanya isin prinsip pelepasan lahan untuk diubah menjadi perkebunan. Namun pada kenyataannya pada enam perusahaan di Kalimantan Timur, ia mengetahui bahwa ternyata IPK dikeluarkan terlebih dahulu baru beberapa lama kemudian ijin prinsip pelepasan lahan. "Inspektorat Jenderal sudah memberikan laporan pada Desember 2000. Dari laporan itu bagaimana tindak lanjutnya secara detail saya tidak mengetahuinya, yang jelas ada sebagian yang dikenakan sanksi pencabutan IPK," katanya. Meski demikian ia mengakui tindak lanjut atas laporan tersebut tidak efektif. Ia memaparkan PT Bulungan Hijau Perkasa menerima IPK pada 6 Februari 2000 padahal ijin pelepasan baru dikeluarkan pada 6 Juli 2000 sementara untuk PT Marsam Cipta Adi Perkasa dikeluarkan IPK pada 18 April 2000 padahal ijin pelepasan baru dikeluarkan pada 6 Juli 2000. Untuk PT Bulungan Agro Jaya, PT Bumi Sawit Perkasa dan PT Borneo Bakti Sejahtera, IPK sudah dikeluarkan pada 5 Mei 2000 padahal ijin pelepasan baru diberikan pada 16 Agustus 2000. "Salah satu laporan dari inspektorat adalah dari 11 perusahaan yang diberi ijin untuk mengubah lahan tersebut menjadi perkebunan, baru satu perusahaan yaitu PT Karang Juang yang melakukan usaha perkebunan sementara yang lainnya belum melakukan," tambahnya. Sementara terkait kewajiban penyerahan jaminan bank (bank garansi) Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi (PSDH-DR), Nurmahmudi mengakui hingga akhir masa jabatannya pada 2001 untuk dana PSDH masih tertunggak Rp10 miliar sementara DR masih tertunggak sekitar tiga juta dolar Amerika.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006