Jakarta (ANTARA News) - Upaya pemerintah untuk menerapkan sistem kupon dengan memberikan bantuan tunai langsung berupa uang guna menggantikan beras bagi program bantuan beras untuk rakyat miskin (Raskin) dinilai rawan penyelewengan. Pengamat sosial dari Universitas Brawijaya Malang, Sunaryo di Jakarta, Sabtu menyatakan, program raskin adalah program beras murah untuk mengurangi beban Rumah Tangga Miskin (RMT) dalam bentuk natura yakni beras yang merupakan makanan pokok. "Untuk Indonesia transaksi dalam bentuk natura merupakan cara yang paling aman dibanding cara tak langsung seperti model `food stamp` atau kupon," katanya. Menurut dia, sistem kupon memiliki kelemahan yakni bisa diperjual belikan sehingga tidak tepat sasaran dan tidak tepat jumlah serta bertolak belakang dari tujuan program yang ingin membantu masyarakat miskin. Sunaryo yang juga Tenaga Ahli Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri itu menyatakan, sistem kupon atau "food Stamp" untuk membantu masyarakat miskin pertama kali dikenalkan di AS pada 1930 ketika terjadi krisis ekonomi global dan pada 1977 menjadi program nasional di negara tersebut. Namun dalam pelaksanaanya sistem tersebut banyak menimbulkan penyelewengan yang mana uang dari hasil penjualan kupon tersebut umumnya banyak digunakan untuk keperluan diluar pemenuhan kebutuhan pokok seperti untuk membeli rokok atau minuman keras. "Bahkan anak-anak dan kaum perempuan tidak bisa terlindungi apabila kepala RTM adalah kaum laki-laki yang memiliki dominasi dalam penggunaan kupon raskin," katanya. Dikatakannya, bagi kaum miskin di Indonesia yang terjebak dalam kerentanan struktural global, "penguangan" atau "monetisasi" raskin mendorong mereka ke arah keterhimpitan yang lebih dalam. Tujuan pemberian raskin agar dapat mengurangi beban pokok dalam situasi sulit tidak kesampaian karena "penguangan" memungkinkan adanya jual beli bahkan pengijonan kupon seperti yang terjadi di AS. Menurut dia, model kupon masih menjadi cara yang utama untuk membantu orang miskin di AS namun untuk di adopsi di Indonesia hal itu masih perlu dipertanyakan. "Tidak hanya sulit dan lamanya sistem tersebut didirikan namun juga bertolak belakang dengan prinsip perlindungan kaum miskin dan nilai kearifan lokal di Indonesia," kata sosiolog lulusan Universitas Negeri New York di Binghamton itu. Selain itu sistem administrasi kependudukan di Indonesia yang tidak tertib tak akan menjamin sistem kuponisasi progam raskin yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sampai ke pihak yang berhak.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006