Jakarta (ANTARA News) - Hasil studi terkini yang dilakukan di delapan provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 92 persen pasien tidak menerima informasi tentang pilihan obat dari dokter atau paramedis didatanginya. "Penelitian yang juga dilakukan dengan melibatkan dokter-dokter yang berpraktik di instansi swasta memperlihatkan, hanya delapan persen dokter yang memberikan informasi tentang pilihan obat kepada pasien. Sisanya hanya menuliskan resep, dan selesailah proses konsultasi," kata Farmakolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Iwan Dwiprahasto, di Jakarta, Selasa. Obat-obat yang diresepkan, kata dia, hampir seluruhnya ditetapkan oleh dokter dan pasien tidak menerima informasi secara transparan mengenai sifat, jenis, mutu, serta harganya. Staf pengajar di Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM/Rumah Sakit Umum dr Sardjito di Yogyakarta itu menjelaskan, hal tersebut antara lain terjadi lantaran dokter memang tidak mempunyai informasi yang memadai mengenai aneka pilihan obat beserta harga, indikasi dan spesifikasinya. Sejumlah dokter yang sengaja diundang untuk melakukan diskusi kelompok terfokus dalam penelitian tersebut, kata dia, juga mengakui bahwa informasi tentang pilihan obat yang mereka miliki relatif terbatas. "Dalam diskusi itu mereka mengakui memiliki keterbatasan informasi tentang jenis obat, harga obat, indikasi dan kontraindikasinya," katanya. Ia memaparkan bahwa penelitian yang dilakukan itu melibatkan 800 responden di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggata Barat (NTB) dan Timur (NTT). Dia pun mengemukakan, setiap dokter sesuai harapan pasien seharusnya memberikan informasi mengenai jenis pilihan, indikasi dan harga obat yang diresepkan, sehingga pasien mengetahui secara jelas obat apa yang dikonsumsinya. Dengan demikian, ia melanjutkan, pasien bisa mendapatkan obat yang dibutuhkan sesuai dengan kemampuan mereka, dan terhindar dari penggunaan obat secara tidak rasional. Bagi pasien yang kurang mampu, maka informasi tentang pilihan harga dan jenis obat sangat penting mengingat kemampuan pembiayaannya sangat terbatas, demikian Iwan Dwiprahasto. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006