Solo (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia termasuk kawasan rawan bencana alam dan jangan membawa bencana alam itu kepada hal-hal yang bersifat mistik dan mengaitkan dengan masalah politik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan hal itu pada sambutannya pada peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2006 yang dipusatkan di Stadion Manahan, Solo, Rabu. Sejak ribuan tahun yang lalu bencana alam itu selalu melanda negeri ini. Letusan gunung berapi di Sumatra yang terjadi lebih 1000 tahun lalu telah membentuk Danau Toba yang dikenal sekarang ini. Konon itu akibat letusan gunung berapi yang paling dahsyat yang pernah terjadi di muka bumi, namun peristiwa itu telah lama sekali tidak diingat lagi oleh generasi sekarang. Letusan Gunung Tambura juga membentuk kawah yang sangat besar dan menewaskan puluhan ribu orang pada awal abad ke 19, letusan Gunung Krakatau tahun 1883 menewaskan puluhan ribu orang. Abu letusan Gunung Krakatau jatuh sampai benua Eropa, tsunaminya menghantam pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan bahkan sampai Semenanjung Malaysia. Bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan Sumatra serta beberapa wilayah di negara lain memang merupakan bencana alam terbesar di abad ke 21, bencana alam itu telah menggugah rasa kesetiakawanan. Semua bangsa Indonesia dan umat manusia di dunia dan bangsa Indonesia yang memiliki korban dan kerusakan yang paling besar telah menunjukkan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi. "Kita bangga menyaksikan semua ini, kita tentu tidak mengharapkan bencana-bencana lain datang menimpa, namun menyadari posisi kita yang rawan bencana alam, maka kita mengajak seluruh komponen bangsa agar terus membangun dan memperkuat rasa kesetiakawanan yang lebih besar lagi," kata Presiden. Negara Indonesia masih menghadapi kemiskinan dan pengangguran, dan menyaksikan anak-anak jalan dan pengemis serta keluarga yang sungguh miskin dan menderita. Kesemuanya itu memerlukan kesetiakawanan. Di antara program pengurangan jumlah penduduk miskin dan pengangguran, rehabilitasi anak-anak jalan dan pengemis merupakan tugas dan agenda bersama. Upaya itu mustahil akan terwujud jika tidak ditunjang oleh semua pihak, ajaran agama mengajarkan kepada umatnya untuk saling mengasihi di antara sesama. Ajaran agama Islam misalnya mengdorong umatnya memberantas kemiskinan. Upaya itu wajib dilakukan baik melalui penciptaan masyarakat yang adil, zakat, infak memberikan sebagian rezeki yang diperoleh untuk membantu kaum duafa. Membantu para korban bencana, mengurangi jumlah penduduk miskin dan pengangguran selain bentuk solidaritas itu masih perlu memberikan pertolongan sosial. Pertolongan sosial ini bukan sekedar memberi ikan, tetapi juga memberi kail agar dapat bangkit menyongsong hari esok yang lebih, katanya. Hal ini dimaksudkan agar mampu menggali kekuatan sendiri dan memberdayakan kemampuan yang ada untuk mengubah jalan hidup sendiri dan bangsa Indonesia yang lebih baik. Gerakan memberikan bantuan sosial ini perlu kesadaran dan pemerintah juga terus berupaya melakukan pengurangan kemiskinan dan pengangguran secara nyata. "Perlu saya sampaikan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk mengurangi kemiskinan jumlahnya terus meningkat," kata Presiden. Tahun 2004 anggaran ini sebanyak Rp18 triliun, tahun 2005 meningkat menjadi Rp23 triliun, tahun 2006 naik menjadi Rp42 triliun, dan tahun 2007 mencapai Rp51 triliun. "Kita berharap anggaran tersebut agar benar-benar dapat diarahkan untuk mengurangi kemiskinan. Ini tugas kita semua mulai Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, dan pemimpin di negeri ini," pintanya. Presiden mengatakan pada peringatan HKSN seperti ini, bangsa Indonesia kembali berduka atas terjadinya bencana alam di Solok, Sumatra Barat, dan gempa bumi di Mandailing Natal, Sumatra Utara. "Saya ingin mengucapkan rasa duka cita atas bencana yang menimpa saudara-saudara kita di kedua daerah itu," ucapnya. Di jajaran pemerintah, utamanya pemerintah daerah agar melakukan langkah-langkah untuk mengatasi bencana dan kepada masyarakat diharapkan turut memberikan bantuan kepada masyarakat di kedua daerah yang terkena bencana tersebut. "Di tengah kehidupan yang cenderung mementingkan diri sendiri ini masih adakah kesetiakawanan sosial di antara kita, masihkah kita memiliki rasa peduli terhadap penderitaan dan kesusahan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul ketika dunia yang makin modern dan mengglobal seolah-olah hubungan manusia hanya bertolak kepentingan semata," ucapnya. Sebagai bangsa, Indonesia tidak boleh membiarkan perasaan seperti itu terus berkembang. Untuk itu, perasaan senasib dan sepenanggungan perasaan kebersamaan dan kegotongroyongan tetap dijaga serta dipelihara. Tanpa itu bangsa Indonesia akan mengalami krisis identitas, dunia memang makin mengglobal, namun hendaknya globaliosasi itu tidak menyesatnya nilai-nilai yang jadi ciri khas suatu bangsa. "Kesetiawakanan sosial dalam pandangan saya berangkat dari perilaku untuk bersimpati dan empati kepada orang lain, rasa simpati dapat terbangun secara timbal balik, jika kita bersimpati kepada orang lain orang lainpun juga akan bersimpati kepada kita," katanya. Tanpa kesetiakawanan sosial yang kokoh tidak mungkin mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain, untuk itu harus yakin bahwa bangsa Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain dengan modal dasar kesetiakawanan sosial. Upaya menanamkan kembali rasa kesetiakawanan sosial harus dimulai sejak dini dari lingkungan terdekat dapat melakukan internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai kesetiakawanan sosial dari lingkungan keluarga, masyarakat dan akhirnya pada kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006