Jakarta (ANTARA News) - Sistem devisa bebas telah membuat pasar finansial di negara berkembang sering disinggahi aliran besar dana asing untuk investasi jangka pendek, terutama di pasar uang dan pasar modal, yang hanya sekedar mengeruk keuntungan. Otoritas meneter kalau tidak pandai memonitor keluar masuknya aliran dana itu bisa-bisa mengejutkan perekonomian negara yang telah bertahun-tahun dibangun, bahkan sering tidak terelakkan terjadi spekulasi di pasar valuta asing (valas), yang bisa mengakibatkan nilai tukar mata uang bergerak fluktuatif tajam. Kalau demikian tentunya akan menyusahkan pelaku sektor riil, terutama yang berkaitan kegiatan ekspor dan impor. Thailand, yang merupakan salah satu pasar finansial negara berkembang (emerging markets), tampak mengalami keterkejutan ketika aliran dana besar jangka pendek internasional masuk. Dana asing masuk, menurut bank sentral Thailand (BoT), melonjak menjadi sekitar 950 juta dolar AS pada pekan pertama Desember, tiga kali lipat lebih dari rata-rata sepekan di bulan November yang hanya sekitar 300 juta dolar AS. Menurut Gubernur BoT, Dr Tarisa Watanagase, aliran masuk dana jangka pendek dalam berbagai bentuk itu telah cenderung menjadi spekulasi di pasar uang. Hal itu terlihat dari volatilitas mata uang negeri "Gajah Putih" itu dan apresiasi baht yang terlalu cepat mencapai 16 persen sepanjang tahun 2006, suatu kondisi yang tidak diinginkan bagi para eksporternya. Bagi para eksportir di Thailand, apreasiasi tajam baht telah membuat produk-produk ekspornya menjadi kalah kompetitif dan dana repatriasinya mengecil. Menurut prediksi Departemen Perdagangan Thailand, pertumbuhan ekspor tahun 2006 sebesar 16 persen bakal menyusut di tahun berikutnya menjadi 10-12 persen. Kondisi yang mengkhawatirkan itu menjadi latar belakang keluarnya kebijakan baru BoT yang mewajibkan lembaga keuangan di negaranya untuk menahan 30 persen aliran masuk dana dalam bentuk mata uang asing di atas 20.000 dolar AS yang tidak terkait dengan perdagangan atau investasi langsung, selama satu tahun. Lebih dari itu jika dana tersebut ditarik sebelum satu tahun, bank yang hanya diperkenankan memberikan dua pertiga dana tersebut setelah dipotong pajak sebesar 10 persen. Kebijakan unremunerasi pada aliran dana jangka pendek ini, kata Watanagase, dikeluarkan untuk menekan tekanan spekulasi terhadap baht dan memaksanya untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Memang kebijakan baru yang disambut senang para eksporter domestiknya, tapi di pihak lain disambut berlawanan oleh pelaku pasar uang dan modal pada hari dikeluarkannya kebijakan kontroversial pada 19 Desember itu. Di pasar uang, baht yang sebelumnya dikenal seagai mata uang Asia yang performanya baik, tiba-tiba harus harus anjlok 2 persen selama sehari Selasa itu, yang merupakan penurunan terbesar harian selama 9,5 tahun terakhir. Sementara itu, di pasar modal Bangkok, pada hari pengumuman itu terjadi "panic selling" atau penjualan saham-saham dalam jumlah besar yang ditekan oleh kepanikan investor ekuitas atas adanya kebijakan yang tak menguntungkan investor asing. Padahal pelaku pasar modal di negeri Siam itu masih didominasi investor asing yang porsinya tercatat sekitar 60 persen. Tak pelak lagi indeks harga saham di Thailand itu dalam sehari runtuh 20 persen yang merupakan penurunan harian terbesar sepanjang sejarah bursa Thailand, jauh lebih besar dibandingkan penurunan yang terjadi saat krisis politik terjadinya kudeta militer September lalu yang tercatat 16 persen. Kondisi ini juga menempatkan bursa Thailand sebagai bursa terburuk kinerjanya di Asia sepanjang tahun 2006 ini. Hari itu diperkirakan 700 juta dolar AS lenyap dari pasar saham Thailand. Munculnya hasil kontradiksi dari yang diharapkan sebelumnya itu maka tidak sampai 24 jam berikutnya bank sentral Thailand buru-buru mengumumkan pengecualiannya kebijakan baru itu di pasar modal. Namun kebijakan revisi itu tidak serta merta memperbaiki kinerja bursa sahamnya. Bahan Pelajaran Kebijakan "kejutan" otoritas moneter Thailand itu sempat mempengaruhi pasar modal dan uang di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Pada hari Selasa (19/12) itu indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) turun 50,95 poin (2,85 persen) ke level 1.736,67. Demikian pula mata uang rupiah sempat melemah dari 9.085/9.090 menjadi 9.150/9.160 per dolar AS. Namun pada hari berikutnya "kejutan Thailand" sudah kembali direspon rasional oleh pelaku pasar sehingga di BEJ terjadi "rebound" (penguatan kembali) dan rupiah kembali di bawah 9.100 per dolar AS. "Kepanikan pelaku pasar modal hanya temporer dan sudah selesai. Efek Thailand sudah nggak ada," kata Analis Perbankan Mirza Adityaswara. Namun demikian, kejadian di Thailand bisa menjadi bahan pembelajaran bagi otoritas moneter dan Pemerintah Indonesia, yakni perlunya kehati-hatian membuat kebijakan. "Selama pemerintah dan BI tidak membuat kebijakan anti pasar, sejauh itu pasar akan percaya. Investor asing tidak suka `negative surprise", apalagi jika disertai sanksi," ungkap Mirza. Pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini, juga mengingatkan kejadian Thailand agar bisa menjadi kewaspadaan otoritas moneter Indonesia atas dampak negatif aliran dana jangka pendek. "Indonesia tidak perlu `jumawa` menyatakan bahwa perekonomian Indonesia lebih kuat saat ini, seperti awal krisis moneter tahun 1997 lalu. Pemerintah dan BI harus lebih waspada saat ini," katanya. Gayung bersambut. Menkeu Sri Mulyani juga menyatakan pemerintah akan terus berkomunikasi dengan pelaku pasar secara kontinyu agar tidak timbul spekulasi yang mengkhawatirkan. "Kita akan terus memperkuat kebijakan kita, institusi dan fundamental sehingga ruang untuk memuat spekulasi itu kecil atau bahkan tidak ada," katanya. Pada sisi lain Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menyatakan tidak akan melakukan perubahan kebijakan apapun terkait kebijakan Bank of Thailand (BoT) yang membatasi arus keluar mata uang asing. "Di sisi regulasi kita tidak akan melakukan perubahan apapun. Kita akan tetap konsisten dengan kebijakan devisa bebas, kebijakan kurs mengambang dan kita merasa cukup dengan kebijakan moneter sesuai PBI No.7 tahun 2005 yang mengatur masalah terkait spekulasi," kata Burhanuddin sambil menambahkan bahwa rupiah relatif terjaga di level 9.000 per dolar AS. Selain itu, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/14/PBI/2005 tentang pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank cukup untuk membatasi ruang gerak spekulan di pasar modal dan pasar uang. "Rupiah kan tidak bisa diperdagangkan di luar negeri dan pemberian 'forward' di dalam negeri kepada 'non-underlying transaction' tidak bisa. Ruang gerak spekulan sangat terbatas di kita," kata pengamat pasar uang Farial Anwar. Namun seperti kata Menkeu, setiap terjadi peristiwa seperti itu, pesan yang paling muncul adalah kebutuhan untuk segera memperbaiki diri yang dimulai dengan memperbanyak instrumen atau diversifikasi sehingga tidak bertumpu hanya pada satu instrumen untuk mengatasi suatu masalah. "Kemudian, kita perlu juga memperbaiki proses intermediasi sehingga ketika ada uang yang masuk dia bisa tersalur kepada sektor yang produktif dan tidak `nongkrong` lama di satu instrumen yang sifatnya akan `bubble` (gelembung ekonomi)," katanya. (*)

Oleh Oleh Zainal Abidin
COPYRIGHT © ANTARA 2006