Oleh John Nikita S Perseteruan antara pencipta lagu yang diwakili Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) dan perusahaan rekaman (label) yang tergabung dalam ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) perihal pembayaran royalti semakin menjadi-jadi dan merupakan catatan penting dalam dunia musik Tanah Air pada 2006. Perseteruan itu semakin panas ketika sejumlah musisi termasuk Dhani Ahmad (Dewa 19), Melly Goeslaw, Deddy Dores, A. Rafig keluar dari KCI dengan alasan pembayaran royalti mereka bermasalah. KCI yang didukung PAPPRI mengambil langkah "jalan terus", dengan mengatakan, "Mereka tidak mengerti betul tujuan yayasan ini dan terpengaruh iming-iming pihak lain". Sejak kemenangan melawan PHRI (Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia) di "meja hijau" pada Juni-Agustus, dalam perkara tuntutan pembayaran royalti dari lagu-lagu yang dipergunakan secara komersil oleh pengelola hotel, restoran, kafe dan tempat hiburan lainnya, KCI kini membidik Telkomsel selaku penyedia layanan jasa RBT (Ringback Tone) atau Nada Sambung Pribadi. James F. Sundah, anggota dewan di tubuh KCI, menyatakan, Telkomsel memang harus membayar royalti dari lagu-lagu yang dimanfaatkannya untuk RBT. "Celakanya, sejak 2004 sampai sekarang mereka tidak bersedia membayar," kata penulis lagu hits "Lilin Lilin Kecil" tersebut. Sementara itu, pihak Telkomsel menyatakan, pembayaran royalti adalah urusan ASIRI sebagai rekanan. Menurut Arnel, salah seorang ketua ASIRI, KCI tidak berhak menarik keuntungan dari jerih payah produser. Tidak tanggung-tanggung, sikap KCI yang menuntut pembayaran royalti itu dianalogikannya sebagai "menikmati rumput tetangga". Arnel, juga seorang produser di E.M.I Indonesia, menyatakan seluruh kontrak yang ditandatangani pihak produser dan musisi sudah mencakup hak penggandaan (mechanical right) dan performing right (hak mempublikasikan) atau yang lebih dikenal dengan istilah royalti. "Jadi enggak benar dong. Kita yang susah payah membesarkan (band/penyanyi), terus hasilnya dinikmati orang lain," katanya. Beda pendapat antara KCI dan ASIRI, ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata terletak pada besaran atau prosentase royalti, khususnya dalam kasus RBT. Di satu sisi, ASIRI (baca label rekaman), di dalam kontrak menyatakan hak pencipta atas keuntungan yang diperoleh adalah 5,4 persen, sedangkan KCI menuntut 30 persen. Sidang perkara yang digelar di PN Jakarta Pusat masih berjalan, bahkan boleh di bilang baru pada tahap awal karena baru dua kali sidang hingga pekan pertama Desember). Karena itu, belum dapat diprediksi pihak mana yang bakal menang. Berbicara tentang besaran prosentase royalti, James F Sundah mengatakan, "Di luar negeri, itu yang diberlakuka, 30 persen. Lalu kalau kita hanya 5,4 persen, bagaimana pendapat di dunia internasional?" Berjuang di jalan yang sama, PAPPRI (Persatuan Artis, Pencipta dan Penata musik Rekaman Indonesia), bersikap setali tiga uang dengan KCI. Ketua umum PAPPRI Dharma Oratmangun mengatakan, kesadaran masyarakat secara luas pun harus dibentuk, bahwa kekayaan intelektual berupa karya cipta lagu dan musik mengandung harga yang harus dibayar. "Kalau semua pihak menyadari hal tersebut, tidak akan ada pembajakan, apalagi cuma sekadar orang yang tidak mau membayar padahal nyata-nyata menggunakan karya cipta orang lain untuk kepentingan komersial," katanya. Baik KCI maupun PAPPRI sama-sama terdaftar di tubuh CICAC, asosiasi internasional yang menangani masalah hak cipta dan segala bentuk tata hukum yang muncul terkait dengannya. PAPPRI tercatat sebagai individu-individu, sedangkan KCI diakui sebagai satu-satunya organisasi penagih royalti di Indonesia. "Karena itu kita dipercaya untuk mengurus royalti dari sekitar dua juta pencipta di seluruh dunia, tepatnya dari 111 negara yang memiliki yayasan atau asosiasi sejenis," kata James F. Sundah. Menyinggung masalah keluarnya sejumlah musisi dari KCI, ia mengatakan, "Paling nantinya seperti Duta Sheila On 7 dan Katon Bagaskara, yang belakangan mengaku menyesal." Menilik teknologi RBT yang menjadi tren baru bisnis musik dan lagu, persoalan KCI dan pengusaha rekaman belum akan beres hingga tahun depan. Para pengusaha di satu sisi melihat tren baru tersebut sebagai peluang berjualan cukup efektif, antara lain untuk menghindari pembajakan yang masih belum bisa dihapuskan. Di sisi lain, KCI melihat ada persoalan royalti yang tidak terselesaikan selama pengusaha rekaman dan pihak penyedia layanan enggan membayarnya.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006