Medan (ANTARA News) - Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR) DPRD Sumatera Utara menilai kerusakan hutan di daerah itu yang kemudian mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor murni karena kesalahan manusia (human error). "Kerusakan hutan di Sumut ini murni akibat kejahatan aparat dan sama sekali bukan karena kejahatan rakyat. Akibatnya, bencana banjir dan tanah longsor tak terelakkan lagi," ujar Ketua Fraksi PBR DPRD Sumut, H. Raden Muhammad Syafi`i, di Medan, Kamis (28/12). Ia menambahkan bahwa kerusakan hutan di Sumut adalah akibat maraknya praktik "illegal logging". PBR sendiri, menurut dia, sejak awal telah menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Sumut adalah karena kejahatan aparat, baik aparat birokrasi kehutanan maupun pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. "Tak mungkin rasanya rakyat nekat dan mampu melakukan pencurian kayu di hutan dengan skala besar," tegasnya. Raden Muhammad Syafii yang juga Wakil Ketua Umum DPP PBR itu menekankan bahwa aparat yang dimaksud merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan, seperti pemberian izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan pengawasan hutan. "Jadi, mereka-mereka inilah yang paling bertanggung jawab. Tapi, ironisnya hingga saat ini belum ada aparat yang diadili akibat kerusakan hutan," katanya. 15 tahun ke depan Sementara itu, Direktur Greenomics Indonesia Elfian Effendy mengatakan bencana alam diprediksi akan terus melanda Sumut dalam rentang 15 tahun ke depan akibat terjadinya perubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi. Kepada wartawan yang menghubunginya dari Medan, Rabu (27/12), ia mengungkapkan luas hutan produksi di daerah itu tercatat mencapai sekitar 327 ribu hektare, sementara masa penggunaannya terhitung mulai tahun 2003 hingga 2015. "Rentang waktu penggunaan hutan lindung yang diubah menjadi hutan produksi itu sekitar 15 tahun ke depan. Ini petaka bagi Sumut. Bencana alam bertubi-tubi bakal menimpa daerah ini," katanya. Menurut dia, hal itu merupakan persoalan sangat serius karena bencana tidak saja menimbulkan korban harta benda tetapi juga nyawa manusia, seperti dalam kasus banjir di Kabupaten Langkat dan tanah longsor di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Ia menilai penyebab semua bencana itu adalah perubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi yang menelurkan terbitnya HPH, yang kemudian bergeser menjadi penyelewengan izin sehingga menimbulkan praktik pembalakan hutan secara liar. "Semua itu berarti `kiamat` bagi Sumut," tambahnya. Lebih jauh Elfian mengatakan, perubahan peruntukkan hutan lindung menjadi hutan produksi menyalahi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ironisnya, perubahan status hutan itu dilakukan Menteri Kehutanan bersama-sama dengan para bupati dan Pemerintah Provinsi Sumut dan disetujui DPRD Sumut periode 1999-2004. "Artinya, bencana alam di Sumut yang terjadi saat ini murni tanggung jawab Pemkab, Pemprov dan Menhut yang secara bersama-sama mengubah status kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi," katanya.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006