Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Pajak Departemen Keuangan, Darmin Nasution, mengungkapkan pembayaran kewajiban pajak oleh sejumlah industri, seperti minyak goreng, dan properti atau real estate, tak sebanding dengan omset usaha bidang itu. "Saya tidak bilang bahwa kita mencurigai mereka telah melakukan penghindaran pajak. Kita hanya melihat bahwa pajak yang mereka bayar dibanding dengan omsetnya agak rendah," kata Darmin Nasution, di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, akhir pekan lalu. Atas kondisi tersebut, pihak Ditjen Pajak menghimbau agar mereka (pengusaha bidang itu) meneliti kembali dan membetulkan surat pemberitahuan (SPT) pajak, sehingga pembayaran pajak tidak mengalami kekurangan. "Kalau tidak dibetulkan juga ya tahun depan kita akan melakukan pemeriksaan terhadap mereka," kata mantan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) itu. Ia menyebutkan persentase pembayaran pajak oleh industri minyak goreng hanya mencapai sekitar tiga persen dibandingkan dengan pembayaran industri kelapa sawit yang mencapai rata-rata sebesar tujuh persen dari omsetnya. Sementara di industri real estate lebih rendah lagi dari angka di industri minyak goreng. "Kita harus mencari tahu apa betul pembayaran pajaknya hanya segitu. Kita sedang menyiapkan perilaku biaya yang normal apakah itu di industri kelapa sawit, minyak goreng, atau mungkin properti," jelasnya. Menyangkut kelapa sawit misalnya, pihaknya akan menghimpun informasi mengenai berapa jumlah pohon untuk satu hektar, bagaimana produktivitasnya, berapa biaya produksi dari nilai produksi, dan informasi lainnya. "Jadi bukan hanya sekedar melihat pembukuannya saja. Kalau hanya lihat pembukuan saja, kadang-kadang sudah mereka siapkan bukti-buktinya di atas kertas," katanya. Mengenai kemungkinan adanya upaya penghindaran pajak dan penyelundupan pajak, Darmin menjelaskan pihaknya sudah membentuk Direktorat Intelijen dan Penyidikan di Ditjen Pajak, yang antara lain akan bertugas melakukan investigasi dan penyidikan terhadap upaya penghindaran dan penyelundupan pajak. "Penghindaran pajak itu modusnya bermacam-macam termasuk `transfer pricing`," jelasnya. Transfer pricing terjadi misalnya ketika perusahaan pembuat pakaian di Indonesia mengadakan transaksi untuk membeli bahan baku maupun untuk menjual hasil produksi dengan perusahaan di luar negeri, tetapi mereka dapat mengatur harga dan keuntungan serendah mungkin sehingga pembayaran pajaknya juga rendah. "Itu bisa dilakukan kalau misalnya perusahaan yang ada di Indonesia sebenarnya sama dengan perusahaan yang ada di luar negeri (satu pemilik atau group), sehingga harga bisa disetel (diatur) dan terkesan untungnya kecil dan akhirnya pembayaran pajaknya juga rendah," katanya. Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan transfer pricing juga terjadi pada industri kelapa sawit dengan industri minyak goreng. Industri kelapa sawit ada di Indonesia, sementara industri minyak goreng ada di luar negeri. Untuk menangani masalah penghindaran pajak termasuk transfer pricing, menurut Darmin, secara struktural di Ditjen Pajak ada Direktorat Peraturan Pajak I dan Direktorat Peraturan Pajak II. Direktorat Peraturan Pajak II mengurusi pajak penghasilan (PPh) dan peraturan pajak internasional, termasuk menelusuri masalah hubungan perusahaan induk dengan anak perusahaan, yang salah satunya berada di Indonesia. "Strukturnya memang kita rancang demikian untuk menjawab persoalan yang kita hadapi," kata Darmin Nasution. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007