Tegal, Jawa Tengah (ANTARA News) - Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengatakan, pemerintah Aceh perlu mempertimbangkan urgensi pemberlakuan pembatasan jam malam bagi perempuan di Serambi Mekkah itu. Banyak juga perempuan yang menjadi penggerak ekonomi keluarga dan fungsi lainnya di sana. 

"Aceh punya kewenangan internal untuk mengatur aturan khusus di daerahnya, tapi harus dipertimbangkan apa urgen seperti itu," kata Kalla, di sela-sela membuka ijtima' ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura Tegal, Jawa Tengah, Senin.

Kalla mengatakan, perlu dilihat lagi maksud dari pemberlakuan jam malam tersebut dan tidak bisa dianggap jika perempuan di Aceh keluar malam hari akan bermasalah. 

Pada sisi lain, bersama bekas Presiden Finlandia, Maarti Ahtisaari, dan lain-lain, Kalla berperan besar dalam perwujudan perdamaian di Aceh pasca tsunami 2004.

"Dipertimbangkan begitu harus dilihat kasusnya. Tentu perempuan Aceh masih sangat arif untuk mengatur itu sebaik-baiknya," katanya.

Sebelumnya, Wali Kota Banda Aceh, Illiza Djamal, menegaskan pemberlakuan jam malam bagi perempuan justru untuk melindungi kaum hawa itu dari pelecehan seksual dan hal buruk lain.

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan dalam penerapan aturan hukum yang berbasis pada agama (qanun), semisal kewajiban berkerudung dan berbaju tertutup bagi semua perempuan di sana. 

Namun, walau berlandas qanun, sebagaimana dinyatakan data 2014, pelecehan seksual di Banda Aceh justru terbilang tinggi. 

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2015