Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah hendaknya jangan enggan untuk minta maaf kepada jamaah haji atas kelalaiannya dalam memberikan pelayanan yang terbaik, sehubungan dengan terjadinya keterlambatan dalam pengiriman jatah makanan terhadap jamaah haji, ujar seorang pengamat. Dr Sofyan Sauri Siregar, selaku dosen bidang fiqih dari Universitas Islam Eropah yang terdapat di Rotterdam, ketika dihubungi melalui saluran telepon, Rabu, mengatakan kelalaian apapun yang mungkin dilakukan oleh pegawai haji yang mewakili Departemen Agama di Saudi Arabia dengan sendirinya merupakan kesalahan Pemerintah Indonesia. "Saya mendengar dari seorang sahabat bahwa para jamaah haji Indonesia banyak yang kelaparan selama wukuf di Arafah, sehingga ada dari mereka yang mendapat sedekah makanan roti dari jamaah haji Saudi Arabia yang hiba melihat keadaan ini. Kejadian ini tentu sangat memalukan dan praktis menggambarkan ketidakberesan dalam penanganan makanan terhadap jamaah haji," ujarnya. Mengingat pengurusan haji di Saudi Arabia diwakili oleh Departemen Agama, maka pemerintah hendaklah minta maaf terhadap para jamaah, karena adanya ketidakberesan dalam mengatur makanan bagi para jamaah selama wukuf di Arafah. "Bayangkan doa para jamaah yang sedang wukuf lebih makbul, jadi kalau kelaparan terjadi disebabkan karena kelalaian sudah sepantas kata maaf harus disampaikan kepada jamaah sebelum mereka pulang," ujar Sofyan yang tinggal di Belanda. Jadi kesedihan yang mereka alami karena keengganan pemerintah untuk cepat minta maaf atas kelalaian yang telah terjadi bisa berdampak buruk terhadap Indonesia, sehubungan dengan berbagai musibah yang terjadi dipenghujung 2006 dan awal 2007. Bisa jadi tenggelamnya kapal KM Senopati, hilangnya pesawat Adam Air dalam perjalanan ke Manado dan tergelincirnya pesawat Lion Air di Ambon dan beberapa peristiwa lain merupakan peringatan Allah terhadap Indonesia. Tanda-tanda alam itu dinilainya harus disikapi dengan bijak oleh pemerintah dengan bertaubat, yaitu minta maaf serta memperbaiki kinerja sesuai dengan kehendak Allah seperti yang tercantum dalam Al-Quran. Mungkin selama ini banyak dalam pelaksanaan negara yang dijalankan oleh pemerintah lebih mengutamakan kepentingan manusia dengan nota bene pemerintah dan kebijakan tersebut tidak pernah dicocokkan dengan kehendak Allah seperti tercantum dalam Al-Qur`an. Dampaknya musibah tak kunjung berakhir yang sebenarnya merupakan peringatan Allah terhadap manusia (pemerintah Indonesia). Hal ini sepatutnya menjadi pelajaran bagi orang yang berakal dan beriman, kecuali mereka berada di luar kriteria ini, ujar Sofyan yang sering berbicara di forum-forum internasional mengenai Islam. Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, telah mendesak pemerintah untuk meminta maaf kepada para jamaah haji terkait dengan adanya keterlambatan dalam pengiriman jatah makanan mereka. "Mohon dengan hormat kepada pemerintah agar secara terbuka meminta maaf kepada para jamaah haji Indonesia atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekeliruaan itu," ujar Muzadi. Permintaan maaf itu, kata Hasyim, harus dilakukan karena peristiwa ini sangat serius dan tidak pernah terjadi selama sejarah perjalanan haji Indonesia. "Laparnya jamaah haji di Arafah mempunyai dimensi ganda, yakni hubungan kemanusiaan serta hubungan dengan Allah. Jangan sampai laparnya jamaah haji merupakan pertanda buruk untuk keadaan negeri kita," katanya. Sebelumnya Menteri Agama Muhamad Maftuh Basyuni, Senin (1/1), menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh jemaah haji Indonesia atas terjadinya bencana kelaparan di Arafah yang menimpa mereka akibat keterlambatan katering mengirim makanan, apalagi pemerintah memang tidak menilai secara mendalam kemampuan mereka.. Dalam keterangannya di Media Center Haji Departemen Agama, Senin, Menteri Agama mengatakan permasalahan katering yang mencuat sejak di Arafah hingga di Mina, terjadi karena pemerintah salah memilih perusahaan katering. "Ini merupakan pelajaran bagi kita semua jangan hanya karena mendapatkan harga murah maka kemudian diambil," kata Menteri. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007