Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebaiknya segera melakukan "resuffle" kabinet, karena sangat berpengaruh pada pemerintahan mendatang. "Sudah dua tahun pemerintahan, banyak kekurangan. Nah, jika mereka tidak diganti apa kinerja mereka dapat lebih baik," kata pengamat politik dari LIPI, Asvi Marwan Adam, di Jakarta, Jumat. Asvi menjelaskan menteri yang perlu diganti adalah mereka yang tidak lagi memenuhi kriteria, yakni tidak lagi memiliki kepedulian terhadap rakyat, bukan karena kepentingan partai atau desakan partai. "Yang perlu diganti adalah menteri yang karena kebijakannya menyebabkan antrian minyak tanah, petani yang kesulitan mendapatkan pupuk, dan orang tua murid yang masih dibebani membayar uang pembangunan gedung, meskipun gedung sudah ada," ujarnya. Asvi menegaskan reshuflle tersebut bukan masukan dari partai, namun masukan dari rakyat dan karena kebijakan menteri terkait, tidak berpihak pada rakyat. "Selama dua tahun pemerintahan lebih banyak perhatian pada persoalan bencana alam dan manusia, seperti tsunami, lumpur panas Lapindo, dan gempa bumi. Bahkan ada yang sampai sekarang belum kelar," katanya. Disinggung mengenai hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Demokrasi dan Pembangunan terhadap 2.686 responden, Asvi menilai hasil survei tersebut perlu dipertimbangkan. Hasil survei menyebutkan sebanyak 52,23 persen masyarakat pedesaan dan sisanya 42,94 persen masyarakat perkotaan akan memilih sosok Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi Presiden di masa mendatang. Sebanyak 97,33 persen menjawab mengenal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebanyak 97,12 persen mengenal Megawati Soekarnoputri dan 95,39 persen mengenal Jusuf Kalla. Menurut Asvi, dengan menurunnya tingkat prosentase yang mendukung SBY menjadi presiden dibanding masyarakat pedesaan termasuk membahayakan, dengan logika masyarakat perkotaan lebih kritis. "Masyarakat di perkotaan lebih banyak mengikuti perkembangan informasi, kejadian, dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sementara di pedesaan informasi lebih lamban," katanya. Namun, hal itut tanpa memperhitungkan jumlah masyarakat yang tinggal di pedesaan atau perkotaan. "Jadi sekali lagi jika tingkat kepercayaan masyarakat di perkotaan yang lebih kritis mengalami penurunan akan lebih membahayakan bagi seorang pemimpin," demikian Asvi. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007