Jakarta (ANTARA News) - Tingginya ketergantungan berbagai industri terhadap penggunaan gas, disertai keragaman jenis dan lokasi industri, mendorong perlu dibentuk suatu badan penyangga (buffer body) yang bisa menjamin proporsionalitas dan keseragaman harga gas bagi industri.

"Menjadi kebutuhan mendesak membentuk satu badan penyangga harga di industri gas, seperti halnya Bulog di industri beras," kata pengamat yang juga Direktur Reforminer Institut, Komaidi Notonegoro, kepada pers, di Jakarta, Kamis. 

"Dengan badan penyangga itu maka harga gas bisa diatur dengan lebih tertib dan proporsional bagi industri pengguna," kata dia. 

Dengan ada jaminan keseragaman dan konsistensi harga gas, maka industri pengguna bisa merencanakan operasi dan penetapan harga produk yang terkendali.

Misalnya industri pupuk yang 70 persen bahan bakunya tergantung gas, dapat memproduksi pupuk dengan terencana dengan harga terkendali, yang pada akhirnya dapat dijangkau petani.

"Saya rasa (pembentukan badan penyangga) ini harus segera," kata dia.

Dia menyoroti industri pupuk, yang posisinya sangat strategis dalam menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.

"Pupuk yang 70 persen bahan bakunya berasal dari gas sangat vital bagi petani sebagai penghasil komoditas pangan. Mereka tidak boleh sulit dalam memperoleh pupuk, apalagi pada harga yang rumit dan sulit dijangkau," ujar dia.

Menurut Notonegoro, disadari saat ini rancangan atau draf UU Migas sedang dibahas di DPR, dan dalam naskah rancangan itu yang akan menjadi badan penyangga adalah BUMN.

Namun ia mengingatkan, badan penyangga tunggal yang akan mengatur harga gas itu tidak boleh perusahaan yang tidak 100 persen milik negara.

"Amanat UU menentukan demikian, yang menjadi badan penyangga atau agregator tunggal mesti BUMN murni, seperti Pertamina. Perusahaan yang sebagian sahamnya sudah dimiliki asing tidak diperbolehkan, namun dia bisa membantu sesuai dengan infrastruktur yang dimilikinya," katanya.

Pertamina, katanya, memiliki sumber gas bumi di hulu, dan juga memiliki akses LNG domestik serta impor. Hal itu merupakan kekuatan untuk mengatur sehingga harga gas bisa seragam atau diatur secara proporsional.

"Kalau ada perusahaan lain yang juga punya infrastruktur, perusahaan itu dapat disertakan di dalam sistem untuk mendukung dan memperkuat," tambah Komaidi.

Meskipun demikian, Komaidi tidak menampik adanya kemungkinan disparitas harga gas, namun selisihnya hanya sedikit karena faktor jarak dan lokasi, karena Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang luas dan panjang, dari Sabang sampai Merauke.

"Bisa saja ada sedikit selisih, namun tidak lagi mencolok seperti saat ini. Saat ini perbedaan harga gas ada yang empat dolar AS, ada yang 11 dolar AS, ada yang 4,5 dolar Amerika Serikat," ungkapnya.

Tunggal
Senada dengan dia, pengamat dan dosen pascasarjana Universitas Indonesia, Muslimin Anwar, meminta pemerintah segera menunjuk badan penyangga tunggal (agregator tunggal) yang dapat mengatur harga gas. 

Kesulitan petani memperoleh pupuk selama ini tak lepas dari ketiadaan harga yang teratur alias rumit.

"Dengan adanya agregator tunggal, maka untuk industri besar, agregator bisa menggunaka harga gas yang sesuai dengan keekonomiannya. Sementara bagi industri kecil harga gas diberikan patokan harga yang lebih terjangkau," kata dia.

Memang, kata dia, secara umum, penentuan harga gas untuk industri ditentukan beberapa hal, antara lain tergantung pada harga beli gas di hulu maupun impor serta harga di hilir melalui mekanisme cost of services (IGU), baik itu biaya regasifikasi (untuk LNG), biaya pengangkutan gas (toll fee) untuk pipa transmisi, dan biaya penyediaan gas distribusi.

Untuk gas bumi dari hulu, kata dia, jumlah dan pemakaiannya terbatas. Untuk satu sumber gas bumi dalam 10 sampai dengan 20 tahun bisa habis. 

Untuk mengatasi masalah tersebut bisa digantikan dengan LNG yang berasal dari domestik maupun impor, dengan syarat harus tersedia fasilitas untuk regasifikasi.

Ia menjelaskan, harga gas di Malaysia yang wilayahnya tidak seluas Indonesia, pasti berbeda. 

Di Indonesia selain wilayahnya luas, terdapat jarak yang cukup jauh antara daerah pengguna gas (Jawa dan Sumatera) dan daerah produsen gas (di luar Jawa dan Sumatera), sehingga menyebabkan harga gas untuk satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda.

Oleh Biqwanto Situmorang
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2015