Yerusalem (ANTARA News) - Hampir setengah warga Israel  mendukung jika pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memutuskan untuk menyerang Iran lebih dulu demi menghentikan program pengembangan bom atom Tehran, demikian survei opini publik yang dipublikasikan oleh surat kabar Maariv pada Jumat.

Survei tersebut digelar tidak lama setelah Iran dan sejumlah negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, berhasil mencapai kesepakatan terkait program nuklir.

Hampir tiga perempat responden jajak pendapat yang sama berkeyakinan bahwa kesepakatan internasional tersebut akan mempercepat pengembangan senjata nuklir Iran--bukan mencegahnya sebagaimana dikatakan oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan.

Saat ditanya, "Apakah Anda mendukung aksi militer sepihak oleh Israel terhadap Iran jika tindakan tersebut diperlukan demi menghalangi Iran memperoleh kemampuan menciptakan bom atom?", sebanyak 47 persen responden menyatakan "ya", sebesar 35 persen menolak, sementara sisanya tidak berpendapat.

Sain itu, saat ditanya "Menurut pendapat Anda, apakah kesepakatan yang telah ditandatangani itu akan membuat Iran semakin mudah memperoleh teknologi persenjataan nuklir?", sekitar 71 persen menjawab "ya".

Surat kabar Maariv tidak menuliskan jumlah responden ataupun "margin of error" dari jajak pendapat yang digelar oleh lembaga Panels Politics Polling Institute tersebut.

Israel sejak lama mengkritik setiap kesepakatan nuklir yang melibatkan Iran. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut kesepakatan yang ditandangani baru-baru ini sebagai "kesalahan bersejarah."

Netanyahu juga berulangkali mengancam akan mengambil tindakan militer jika dibutuhkan untuk mencegah Iran memperoleh teknologi senjata nuklir--meski Tehran sendiri juga berulangkali menyatakan bahwa program atom yang mereka kembangkan sepenuhnya bertujuan damai, yaitu untuk memperoleh energi terbarukan dan demi penelitian medis.

Netanyahu mengatakan bahwa Israel tidak terikat oleh kesepakatan antara Iran dengan enam negara kuat dan pada Rabu kemarin mengatakan bahwa kesepakatan itu "bukan merupakan akhir dari cerita."

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2015