Jakarta (ANTARA News) - Ketua MPR RI Zulkifli Hasan meminta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia menggelorakan wawasan kebangsaan di daerahnya masing-masing agar kejadian di Tolikara tidak terulang kembali.

"Apabila presiden, gubernur, bupati dan semuanya menggelorakan wawasan kebangsaan, diharapkan kejadian seperti di Tolikara tidak terjadi lagi," katanya di Gedung Nusantara III, Jakarta, Kamis.

Zulkifli menyadari bahwa wawasan kebangsaan tidak terjadi dengan sendirinya namun harus melalui proses yang terus menerus.

Menurut dia, MPR RI bekerja sama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) membuat sekolah konstitusi untuk memberikan wawasan kebangsaan kepada calon kepala daerah dan calon anggota legislatif.

"Kami bekerja sama dengan Lemhanas membuat sekolah konstitusi untuk memberikan wawasan kebangsaan," ujarnya.

Zulkifli mengatakan Indonesia membebaskan tiap warga negaranya menjalankan aktivitas keagamaannya masing-masing.

Hal itu menurut dia, tiap orang tidak boleh melarang orang lain beribadah dan tidak boleh mengganggu agama apapun untuk menjalankan ajaran agamanya.

"Indonesia sudah 70 tahun merdeka jadi soal agama silahkan tiap orang menjalankan agamanya masing-masing, dan itu sudah disepakati sejak 18 Agustus 1945," ucapnya.

Dia mengatakan tidak boleh seorang atau lembaga melarang orang untuk menjalankan ajaran agamanya karena akan melanggar konstitusi negara Indonesia.

Zulkifli mempersilahkan tiap orang menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan yang tidak boleh adalah tidak melaksanakan ajaran agamanya.

"Saya harap kejadian di Tolikora tidak terjadi lagi dimanapun," tukasnya.

Ketua Umum DPP PAN itu menilai 70 tahun Indonesia merdeka seharusnya tidak meributkan masalah agama dan suku bangsa sehingga menimbulkan kekisruhan.

Menurut dia tantangan Indonesia saat ini adalah masih adanya kemiskinan, pengangguran, penegakkan hukum dan masih rendahnya penyerapan anggaran.

"Saya minta umat Islam tidak terpancing dan tunjukkan kedewasaan sebagai umat mayoritas," katanya.


Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2015