Jakarta (ANTARA News) - Hasil studi pemodelan atmosfer GEOS-Chem yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard University - Atmospheric  Chemistry Modeling Group (ACMG) menunjukkan bahwa polusi udara dari operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara saat  ini menyebabkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun.

Rilis dari Greenpeace Indonesia yang diterima Antaranews pada Rabu menyebutkan bahwa penyebab utama kematian dini tersebut adalah stroke yakni 2.700 jiwa, penyakit jantung iskemik 2.300 jiwa, penyakit paru  obstruktif kronik sebanyak 400 jiwa, kanker paru-paru 300 jiwa dan penyakit kardiovaskular dan pernapasan lainnya sebanyak 800 jiwa.

Diperkirakan, ekspansi PLTU batubara yang baru di Indonesia akan menyebabkan estimasi angka kematian
dini naik menjadi 15.700 jiwa per tahun di Indonesia dan total 21.200 jiwa per tahun termasuk di luar Indonesia.

Angka tersebut bahkan belum termasuk puluhan PLTU baru yang akan dibangun di bawah program 35 GW yang digaungkan Pemerintah Jokowi saat ini.

"Indonesia berada di persimpangan jalan," kata Hindun Mulaika, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. "Presiden Jokowi memiliki pilihan, tetap dengan pendekatan bisnis seperti biasa untuk menghasilkan listrik dan mengambil  kehidupan ribuan orang Indonesia, atau memimpin perubahan dan ekspansi yang cepat untuk energi yang aman, bersih, yaitu energi terbarukan.”

Laporan baru tersebut, menurut Hindun, menunjukkan polusi batubara yang berdampak pada kehidupan rakyat Indonesia. "Hidup berusia pendek akibat penyakit stroke, serangan jantung, kanker paru-paru, penyakit jantung, dan pernapasan lainnya. Sedihnya, dampak kesehatan juga banyak mencakup kematian pada anak-anak. Ada juga biaya ekonomi yang serius, hingga saat ini, belum diperhitungkan."

Kematian dini tersebut disebabkan peningkatan risiko penyakit kronis pada orang dewasa dan infeksi saluran pernapasan akut pada anak akibat paparan partikel halus beracun dari pembakaran Batubara.

"Kabar baiknya adalah bahwa pilihan Presiden menjadi jauh lebih jelas," kata Hindun. "Pertama, laporan ini menunjukkan dampak sebenarnya dari energi berbasis batubara pada kehidupan dan kesehatan rakyat Indonesia. Kedua, Indonesia memiliki kesempatan untuk meninggalkan teknologi kotor dan mengikuti pemimpin dunia lainnya beralih ke energi bersih. Hal ini akan menghasilkan lingkungan yang sehat, warga yang lebih aman dan lebih makmur."

Profesor Shannon Koplitz dari Harvard mengatakan emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara membentuk partikel dan ozon yang merugikan kesehatan manusia. Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan rencana terbesar untuk memperluas industri batubara, namun sedikit yang telah dilakukan untuk mempelajari dampak kesehatan yang ditimbulkannya. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa ekspansi batubara yang direncanakan secara signifikan dapat meningkatkan tingkat polusi di seluruh Indonesia.

"Biaya kesehatan manusia dari meningkatnya polusi batubara ini harus dipertimbangkan ketika membuat pilihan tentang masa depan energi Indonesia," kata Profesor Shanon.

Ahli batubara dan polusi udara Greenpeace, Lauri Myllyvirta mengatakan setiap pembangkit listrik berbahan bakar batubara baru berarti berisiko bagi kesehatan orang-orang Indonesia

"Pembangkit listrik batubara yang diusulkan di Batang saja bisa menyebabkan 30.000 kematian dini melalui masa operasi 40 tahun. Ketika biaya energi terbarukan menurun dengan cepat dan dampak kesehatan yang serius batubara diperhitungkan, menjadi jelas bahwa ekonomi Indonesia akan mendapat manfaat lebih besar dari pengembangan energi terbarukan modern," kata Lauri.


Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015