New York (ANTARA News) - Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) melukiskan citra suram kebebasan pers dalam laporan tahunannya, Senin, dengan menuduh banyak pemerintah dan gerilyawan sama-sama menguasai, mengancam dan menyensor media. Komite bermarkas di New York itu mengemukakan semakin banyak pemerintah beralih dari cara penindasan langsung menjadi lebih tak kentara dalam memberangus pengecam mereka di media, mulai dari pengetatan kendali atas pers seperti di Rusia hingga pelarangan internet di China. Laporan bertajuk "Serangan Atas Pers" itu menyebutkan, meski wartawan dilindungi hukum internasional, "pada zaman petinggi Amerika Serikat menggambarkan Konvensi Jenewa sebagai `aneh`, perlindungan ini makin lama semakin hanya di atas kertas". "Kejadian di Irak dan Libanon mencerminkan tergerusnya status tradisional koresponden sebagai pengamat netral," kata Direktur Eksekutif Joel Simon dalam kata pengantar laporan setebal lebih dari 300 halaman itu. "Di Irak, konflik paling berbahaya dalam sejarah CPJ, kelompok perlawanan begitu rutin menjadikan wartawan sebagai sasaran, sampai-sampai lebih dari dua pertiga wartawan tewas disebabkan pembunuhan, bukan perang," katanya. Laporan itu mengatakan tidak ada bukti untuk menyangka bahwa tewasnya 14 wartawan oleh pasukan Amerika Serikat merupakan kesengajaan, tapi juga tidak satu kasus pun yang mendapatkan penyelidikan memadai dari militer. "Wartawan secara tradisional lebih mengandalkan akal daripada hukum internasional untuk tetap hidup di daerah peperangan, seringkali dengan menjanjikan kelompok perlawanan dan gerilya untuk menyampaikan pesan mereka ke seluruh dunia," katanya. Namun, lanjut laporan itu, banyak kelompok perlawanan lebih suka menggunakan internet untuk menyebarkan pesan. "Di kelompok itu, wartawan dianggap tidak penting," katanya. "Keadaan tersebut sangat meresahkan, karena artinya, publik hanya tahu sedikit tentang suatu persoalan penting," tambah dia. Laporan itu menunjuk Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Rusia Vladimir Putin di antara pelanggar terburuk. "Kebangkitan `democratators` -sebutan populer untuk otokrat hasil pemilihan umum- adalah sesuatu yang mengkhawatirkan, sebab menggambarkan model baru kendali pemerintah," kata laporan itu, dengan menuduh pemimpin tersebut semula menerima demokrasi, tapi kemudian mencabutnya. Laporan itu menuduh pemerintah "sengaja tidak peduli" dalam banyak kasus pembunuhan wartawan, dengan menyebut, dari 85 persen kasus pembunuhan wartawan dalam 15 tahun terakhir, tidak satu pun pelakunya dihukum. "Kekerasan tidak diselesaikan itu memicu kerapnya swasensor," katanya. CPJ juga mengatakan, 13 wartawan tewas di Rusia sejak Putin mengambilalih pemerintahan pada tahun 2000 dan tidak satu pun pelaku pembunuhan itu diajukan ke pengadilan. "Rekor itu membuat wartawan lebih sedikit mengajukan pertanyaan, melakukan penyelidikan secara tidak mendalam, dan melewatkan berita berisiko," katanya. "Putin, yang menyatakan keprihatinan, mendapatkan keuntungan dari ketakutan itu," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007