Jakarta (ANTARA News) - Legislatif dan eksekutif sangat membutuhkan dorongan dan pengawasan dalam pembuatan Undang-undang (UU) agar bobot dan jumlah yang dihasilkan tercapai. "DPR memang perlu tekanan dalam pembuatan Undang-undang," kata anggota Komisi III DPR, Eva K Sundari, dalam diskusi "Menakar Bobot Legislasi" di Jakarta, Selasa malam (13/2). Eva mengaku kesulitan di antara politisi sendiri masih berbeda-beda dalam pembuatan UU, dari masalah kompleks hingga masalah kecil, seperti mendefinisikan pornografi. Menurut dia, kekuatan eksekutif lebih besar dalam pembuatan UU. Di tahun 2007 saja dia menyebutkan eksekutif memiliki jatah mengajukan 23 draft UU, sedangkan DPR mendapatkan jatah enam draft UU dari 30 draft UU yang rencananya akan dibahas. "Satu draft sedang dipertimbangkan siapa yang akan membuat pemerintah atau DPR," ujar dia. Menanggapi pernyataan yang menyebutkan buruknya kualitas UU yang dihasilkan, Eva mengatakan pembuatan UU dilakukan antara DPR dan pemerintah, seharusnya pemerintah juga dipertanyakan, tidak hanya DPR. "Agar lebih adil dilihat siapa yang 'endorse'," ujar dia kepada peserta diskusi. Dia mengemukakan tidak ada "judicial review" pada tahap "draft", tetapi memang seharusnya ada konsultasi publik pada fraksi-fraksi yang ada di DPR saat pembahasan draft tersebut. Dia juga meminta agar masyarakat dapat membandingkan UU yang di "endorse" oleh DPR dengan pemerintah. Dia mengatakan kebanyakan yang di "endorse" pemerintah tidak memihak pada HAM. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, selama ini partisipasi pengawasan dalam pembuatan UU terlihat bagus, seperti adanya workshop dan uji publik. Namun, dia mengatakan yang melakukan pengawasan bukanlah "stakeholders" sebenarnya. Dari uji publik dan workshop yang telah dilakukan di 11 provinsi, yang hadir kebanyakan Pemerintah Daerah (Pemda), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) "Plat Kuning", dan Partai Politik tertentu. Dia mencontohkan pembuatan UU Aceh dan UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dilihat lebih banyak tekanan bukan dari DPR, tetapi justru oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dia menyayangkan prosedur pembuatan UU yang terlalu sulit, sehingga sering menyulitkan pengawasan dari para "stakeholders". "Partisipasi minim akan mempengaruhi hasil UU yang dibuat," ujar dia. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007