Buleleng (ANTARA News) - Punahnya Harimau Bali sudah cukup menjadi pengalaman ironik bagi bangsa Indonesia sehingga peristiwa yang sama diharapkan tidak terjadi pada populasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). "Bukan saja karena secara moril tidak dapat mempertanggungjawabkan titipan anak cucu kepada generasi yang akan datang, dalam kaitan dengan sistem lingkungan kita pun tidak dapat menduga-duga seberapa besar kerugian umat manusia yang sebenarnya akibat kepunahan satwa-satwa tersebut," kata Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Hendrik Siubelan di pos Lampu Merah Kecamatan Grogak, Kabupaten Buleleng yang berjarak sekitar 90 km arah selatan Denpasar, Rabu. Hal itu disampaikan pada saat penanaman beberapa pohon sebagai sumber makanan Jalak Bali di kawasan konservasi TNBB yang juga dihadiri oleh Sekjen Dephut Boen M Purnama mewakili Menhut yang tidak bisa hadir. Ia mengatakan, saat ini dengan memperhatikan berbagai indikasi khususnya mengenai kecenderungan menurunnya populasi Jalak Bali di habitat alam, maka kekawatiran akan kepunahannya menjadi sangat beralasan. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), kata dia, telah memasukkan spesies jalak bali dalam list appendix 1 CITES atau masuk dalam kategori satwa yang terancam punah. Dikemukakannya, catatan tentang populasi jalak bali sepanjang tahun 1974 sampai sekarang masih ditandai dengan kecenderungan penurunan populasi di semua lokasi yg pernah ditemukan jalak bali. Namun demikian, berbagai upaya telah dilakukan dalam memulihkan populasi satwa endemis tersebut di alam. "Program penangkaran yang kami laksanakan telah menghasilkan anakan yang cukup banyak namun pelepasliaran kembali di alam sampai saat ini belum menunjukkan perkembangan berarti dalam menambah populasi jalak bali di alam," kata Hendrik. Menurut dia, kualitas genetik, perlakuan burung selama di penangkaran, jenis dan kualitas makanan, merupakan hal-hal yang terus dipelajari dan disempurnakan sehingga jalak bali hasil penangkaran dapat diliarkan dan berkembang dengan baik di alam. Namun demikian, kata dia, di luar faktor jalak bali itu sendiri ada beberapa faktor yang erat kaitannya dengan jalak bali yang belum berkembang dengan baik di alam diantaranya belum disiplinnya petugas dalam menjaga kawasan ditengah minimnya sarana yang ada di pos penjagaan. Faktor lain, kata dia, yaitu tekanan dari masyarakat baik yang berasal dari sekitar taman nasional maupun dari "seberang" yang masih menjadikan jalak bali sebagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi sehingga mengundang orang untuk mengambil secara ilegal. Informasi yang diperoleh di kalangan pegiat konservasi jalak bali, ditengah langkanya burung tersebut harga sepasang jalak bali di pasar gelap mencapai Rp30-40 juta. Ia mengatakan, sungguhpun kelihatannya cukup sulit dalam mengelola TNBB, masih terdapat beberapa hal yg cukup memberikan harapan antara lain jumlah pegawai saat ini 131 orang yang kesemuanya dapat diberdayakan sebagai kekuatan dalam mengelola kawasan. Kedua, masih banyaknya para pemangku kepentingan yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian TNBB yg terus menerus memberikan dorongan, koreksi maupun kritikan terhadap pengelolaan kawasan. Khusus untuk konservasi jalak bali, saat ini pihak-pihak yang telah, sedang dan masih mendukung program konservasi antara lain Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB), Yokohama Zoo, dan paling baru adalah bantuan dari Gunma Safari Park Jepang yang melakukan penanaman pohon di dalam TNBB sebagai upaya perbaikan habitat. Mereka juga menyumbang dana untuk kesinambungan program konservasi di TNBB.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007