Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Institute for Policy studies (IPS) Fadli Zon menilai, pihak asing telah mensponsori amandemen UUD 1945 dan telah mendanai sejumlah undang-undang yang lahir di era reformasi. "Mereka mensponsori amanandemen UUD 1945 dan UU liberal, karena mereka mempunyai kepentingan untuk memuluskan `penetrasi` dan penyusupan mereka," katanya seusai diskusi UUD 1945 vs "UUD 2002" (UUD 1945 setelah diamandemen) di kantornya Jakarta, Kamis. Ia mengatakan, dari sisi politik demokrasi yang dikembangkan dalam batang tubuh adalah demokrasi liberal, bukan lagi demokrasi perwakilan sesuai musyawarah untuk mufakat. "Amandemen-amandemen yang terjadi kemarin adalah agenda asing, ada bantuan dari pihak asing, bahkan mereka ikut dalam proses pembuatannya," katanya. Menurut Fadli Zon, sebenarnya perubahan UUD 1945 adalah hal yang wajar dan biasa. Namun, perubahan itu harus berdasarkan kepentingan nasional. "Kalau untuk kepentingan nasional, maka harus berdasarkan agenda kita sendiri, mau apa kita, dan bukan atas agenda asing atau bantuan dari asing. Agenda asing adalah liberalisasi, mereka membiayai proyek-proyek demokratisasi, liberalisasi" katanya. Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan perlu kembali kepada tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat bukan demokrasi. "Sekarang ini seolah-olah tujuan kita demokrasi, ini kesalahan yang kebablasan. Semua percaya demokrasi melahirkan kesejahteraan, padahal dimana-mana dalam sejarah di dunia, demokrasi tidak pernah melahirkan kesejahteraan," katanya. Fadli Zon menegaskan bahwa kesejahteraan yang terjadi di Amerika bukan dibangun demokrasi, tapi dibangun oleh perbudakan ratusan tahun. "Begitu juga ekonomi Eropa, dibangun oleh penjajahan. Setelah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, baru mereka berdemokrasi, itu pun internal," katanya. Oleh karena itu, Fadli Zon menegaskan, jika ingin melakukan perubahan UUD 1945, maka harus kembali pada prinsip dan tujuan negara Indonesia yakni kepentingan nasional untuk kesejahteraan rakyat.(*)

Pewarta: surya
Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007