Denpasar (ANTARA News) - Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu), Ali Alatas, menegaskan bahwa tidak ada kebijakan Pemerintah RI yang secara langsung maupun tidak menimbulkan kerusuhan massal sebelum, saat maupun pasca-jajak pendapat di Timor Timur (Timtim). "Yang ada adalah kerusuhan antar-rakyat, sehingga terjadi pergolakan," ujarnya, ketika memberikan penjelasan dalam pertemuan secara terbuka dengan anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKB) Indonesia dan Timtim (Timor Leste) dipimpin Benjamin Mangkoedilaga di Sanur, Bali, Senin. Ia mengatakan, pergolakan itu muncul setelah adanya pengumuman resmi dari hasil jajak pendapat pada 1999. Mereka yang pro-integrasi melakukan berbagai protes, dan menuduh telah terjadi serangkaian kecurangan. "Saya sudah sarankan kepada mereka yang melakukan protes itu, agar mencari apa saja kecurangan-kecurangan itu, dan dilaporkan kepada Sekjen PBB sebagai penanggung jawab," ujar Alatas. Tuduhan-tuduhan tentang adanya kecurangan dalam pelaksanaan jajak pendapat di Timtim, menurut dia, cukup santer, namun sulit dibuktikan. Hal itu, katanya, cukup beralasan karena pro-integrasi adalah mayoritas di Timtim. "Kemerdekaan bagi rakyat Timtim dalam jajak pendapat itu cukup mengejutkan, mengingat yang menginginkan kemerdekaan itu adalah dari kalangan minoritas," kata Alatas. Pemerintah RI sebelum jajak pendapat sudah menawarkan otonomi khusus yang seluas-luasnya, namun kritikan dan hujatan pihak-pihak luar negeri tetap saja ditujukan kepada Indonesia, katanya. Oleh karena itu, ia menambahkan, Presiden RI saat itu, BJ Habibie, akhirnya menawarkan dua opsi bagi masyarakat Timtim, yakni pertama memberikan otonomi khusus secara luas, atau kedua mengusulkan kepada DPR untuk melepaskan Timtim menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hasilnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat itu, Kofi Annan, mengumumkan bahwa sebagian besar rakyat Timtim memilih opsi kedua, sehingga akhirnya Timtim dilepaskan dari NKRI, dan diserahkan kepada PBB yang menyiapkan kemerdekaannya. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007