Jakarta (ANTARA News) - Pengamat masalah lingkungan hidup mengatakan, metode Floating Liquefied Natural Gas (FLNG) adalah sebuah bangunan terapung yang berfungsi sebagai terminal gas jauh lebih kecil risikonya terhadap lingkungan.

M Azis Tunny, Ketua Perhimpunan KANAL Maluku, ketika dihubungi dari Jakarta, Senin, mengatakan, metode FLNG jauh lebih kecil risikonya terhadap lingkungan.

Menurutnya, dengan pipanisasi ratusan kilometer dari sumber gas di laut ke kilang di darat, risikonya terlalu tinggi. "Kalau terjadi kerusakan pipa, bisa berujung pada kerusakan lingkungan. Keragaman hayati Maluku sangat rentan rusak. Kami tidak mau menghadapi situasi itu," katanya.

Azis juga mengajak rakyat Maluku untuk maju dalam teknologi dan tidak berlarut-larut dalam proses pemutusan pembangunan kilang gas Blok Masela apakah di laut atau di darat.

Bagi Azis, FLNG secara optimal juga akan dapat memberikan "multiplier effect", menyerap tenaga kerja, dan jauh lebih penting mengkreasikan penciptaan ekonomi yang berkelanjutan.

"Kita, orang Maluku, sudah saatnya naik kelas. Kita buat lapangan pekerjaan yang lebih tinggi tingkat keahliannya. Misalnya, menjadi konsultan FLNG bagi negara-negara lain yang berminat membangun fasilitas yang sama atau bahkan membuat industri pembuatan peralatan FLNG," ujar Azis.

Pembangunan kilang gas yang diusulkan di darat (onshore) oleh berbagai pihak telah menuai kritik dari pemerhati lingkungan di Maluku. Usulan untuk pembangunan kilang gas di darat mengharuskan dibangunnya pipa sepanjang 150km dari lokasi eksplorasi gas Blok Masela ke Kecamatan Saumlaki di Pulau Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, atau 600km ke arah Pulau Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi kalangan pemerhati lingkungan akan tingginya dampak risiko pembabatan hutan dan kerusakan terumbu karang yang dapat terjadi akibat pembangunan kilang di darat dan pipanisasi tersebut.

Secara geografis wilayah kepulauan di kawasan Maluku Tenggara Barat ini berada di atas patahan dengan ketebalan lapisan tanah hanya sekitar 20cm, demikian menurut hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hal ini menegaskan akan pentingnya fungsi hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem darat, dimana pembabatan hutan seluas kurang lebih 800 hektar dapat mengakibatkan erosi tanah dan pengeringan sumber mata air.


Pewarta: -
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016