Jakarta (ANTARA News) - Menikmati musik di konser Sinestesia dari  Efek Rumah Kaca sesuai dengan apa yang disuguhkan dalam album terbaru mereka, warna-warni dalam setiap lagu.

Sudah terbersit di benak penonton setiap lagu yang dimainkan akan diterangi cahaya seperti fragmen warna dalam album mereka, biru untuk fragmen Biru yang berisi lagu "Pasar Bisa Diciptakan" dan "Cipta Bisa Dipasarkan", atau hijau saat lagu "Keracunan Omong Kosong" dan "Cara Pengolahan Sampah".

Pengalaman menikmati lagu dan warna sekaligus rasa menjadi kekuatan konser album baru dari Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan (vokal) dan Akbar Sudibyo (drum).

Simak fragmen Putih, gabungan dua lagu "Tiada" dan "Ada", yang mereka bawakan saat konser di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (13/1) malam. Vokal Cholil berpadu dengan suara Adrian yang membaca lirik seperti puisi.

"Aku pun ikut tersedu-sedan. Akhirnya aku usai juga," suara Cholil dan Adrian beriringan, dihiasi visual seperti lubang di atap yang membuka langsung ke angkasa.

Syahdu seketika menyergap mendengar lirik yang diciptakan Adrian dan Cholil, merenungi kematian.

"Kematian, kesempurnaan."

Adrian menulis lirik tersebut tak lama setelah ayahnya berpulang, ia menulis kematian dari sudut pandang orang yang mati.

"Gue ngebayangin ayah datang, mencoba berinteraksi, berkomunikasi sama gue, tapi, gue nggak tahu," cerita Adrian di sela-sela latihan untuk konser, beberapa waktu lalu.

Dengan apik, Efek Rumah Kaca menggiring tema kematian menjadi kebahagiaan atas kehadiran nyawa baru di dunia, dari "Tiada" menjadi "Ada".

Efek Rumah Kaca, yang sebagian anggotanya sudah berkeluarga, menyematkan kebahagiaan dan harapan orang tua kepada anak dalam "Ada".

"Selamat datang di samudra. Ombak-ombak menerpa. Rekah, rekah dan berkahlah. Dalam dirinya, terhimpun alam raya semesta. Dalam jiwanya, berkumpul hangat surga-neraka."

Efek Rumah Kaca sengaja memainkan lagu sesuai dengan urutan fragmen di album mereka agar penonton dapat mengikuti alurnya dan bernyanyi bersama, mulai dari Merah hingga Kuning.

Mereka juga menyediakan unduhan gratis album "Sinestesia" di situs resmi mereka.

Album mereka kali ini terdiri dari fragmen warna, masing-masing berisi dua lagu yang digabung menjadi satu warna.

Hasilnya, karya mereka berdurasi panjang, rata-rata 9 menit per fragmen.

"Bikinnya lama. Mainnya, sih, capek," canda Cholil di atas panggung.

ERK tertarik menggabungkan lagu karena terinspirasi dari musik berdurasi panjang yang populer di era 70an.

Butuh waktu sekitar enam tahun bagi mereka untuk menggarap album ketiga ini karena kesibukan manggung. Cholil pun harus meninggalkan bandnya sejenak demi studi di luar negeri.

Cholil ingin mengangkat pengalaman sinestesia, dalam hal ini musik bisa menimbulkan rasa tertentu, dalam album terbaru.

Di waktu yang bersamaan dengan penggarapan album, sekitar 2009, penglihatan Adrian mengalami kemunduran sehingga terlintas keinginan memberi sang bassis stimulan untuk dapat menikmati warna.

"Apakah ketika dia mendengarkan lagu-lagu ini ada pengalaman bertemu dengan warna," kata Cholil tentang ide membagi lagu dalam fragmen warna.

Mereka pun memperdengarkan lagu-lagu ini padanya. Adrian pun mendengarkannya sambil menikmati warna yang bermunculan di matanya.

Ia melibatkan subjektivitas dirinya dalam melihat warna ketika mendengar suatu lagu, ia merasakan lagu-lagu tersebut dengan moodnya sehingga muncul persepsi warna tertentu.

"Ada yang beberapa nggak gue niatkan, tahu-tahu datang begitu saja," jelas Adrian.

ERK tidak seminimalis dari segi musik seperti ketika mereka baru muncul, musik mereka kini menggunakan lebih banyak instrumen seperti terompet dan cello

Kemarahan

Konser dua babak ini juga menghadirkan lagu-lagu Efek Rumah Kaca yang ada di dua album sebelumnya, yang banyak mengangkat isu sosial maupun politik.

Mereka tak ketinggalan memainkan "Mosi Tidak Percaya" dan "Di Udara", dua lagu yang beberapa waktu lalu mereka bawakan saat aksi di depan Gedung MPR/DPR.

Saat lagu "Di Udara", yang terinspirasi dari kasus pembunuhan aktivis Munir, terasa gelora kemarahan sekaligus semangat yang tidak pudar ketika mereka membawakannya di konser Sinestesia.

"Kita belajar banyak, bagaimana dia membela orang yang lemah. Orang seperti Munir harus dikenalkan ke publik yang lebih luas lagi. Semangatnya masih terasa," kata Cholil saat di panggung.

Ditemui saat latihan menjelang konser, kemarahan bagi Cholil adalah motor penggerak mereka untuk berkarya.

"Kalau nggak marah, susah buat lagu yang senang-senang," kata Cholil.

Kemarahan yang ia tuangkan dalam lirik dapat berasal dari ketidakberdayaan.

"Nggak bisa ngebayangin ERK akan ngeluarin lagu yang marah, tapi, orangnya nggak marah," kata Cholil yang mengaku dirinya eksplosif.

Lirik dalam album pertama dan kedua mereka pun cenderung meledak-ledak, seperti jiwa mereka kala itu.

Kemarahan masih menjadi penggerak karya mereka dalam album "Sinestesia". Cholil mengaku lagu mereka sekarang masih bernada sinis.

Hanya saja, cara mereka meluapkan kemarahan dalam lirik kini berbeda, tidak meledak-ledak.

"Yang sekarang marah juga, tapi, marahnya kayak bapak-bapak, lebih tenang," kata Adrian.

Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016