New York (ANTARA News) - Politik memberlakukan fatsun bahwa semua pemberitaan adalah hal yang baik bagi seorang kandidat tertentu, tidak peduli apakah berita tersebut negatif ataupun positif.

Namun prinsip tersebut tidak berlaku untuk cuitan di media sosia Twitter, demikian kesimpulan sebuah penelitian dari Social Science Computer Review.

Faktanya, penelitian itu menemukan bahwa sangat sulit memprediksi hasil pemilihan umum berdasarkan jumlah cuitan di Twitter yang diperoleh seorang kandidat.

Penelitian--yang relevansinya terhadap pemilu Amerika Serikat tahun ini dibantah oleh Twitter--tersebut fokus pada pemungutan suara di Jerman tahun 2013 dan menemukan bahwa data Twitter lebih akurat untuk mengukur ketertarikan terhadap para kandidat dibanding besarnya dukungan yang akan mereka terima.

"Insiden negatif, seperti skandal politik, dan juga peristiwa positif, seperti prestasi, bisa menjadi pemicu ketertarikan terhadap sebuah partai atau kandidat," demikian penelitian yang dipublikasikan pada Senin.

Namun demikian, skandal dan prestasi mempengaruhi level dukungan bagi kandidat dengan cara yang sangat berbeda.

"Analisis ini tidak mendukung rumus sederhana bahwa "lebih banyak cuitan, lebih banyak suara," demikian temuan penelitian itu.

Sebagai contoh, sebuah cuplikan video kampanye seorang kandidat yang disiarkan oleh stasiun televisi mungkin akan memicu perhatian besar di Twitter. Namun perhatian itu kemungkinan besar tidak akan menghasilkan dukungan politik.

"Volume harian cuitan di Twitter yang merujuk pada para kandidat atau partai berfluktuasi bergantung pada peristiwa apa yang terjadi pada hari tersebut--seperti debat politik di televisi, wawancara tokoh, ataupun penyiaran skandal," kata penilitian itu.

Data juga menunjukkan bahwa pengguna Twitter tidak mencerminkan demografi populasi secara keseluruhan. Di Amerika Serikat, platform media sosial seperti Twitter dan Yik Yak lebih populer di kalangan pemilih muda.

Sementara itu juru bicara Twitter, Nick Pacilio, menyatakan bahwa studi tersebut tidak relevan dengan pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini.

"Saya menyarankan agar Anda mengabaikan data Twitter di Jerman tiga tahun lalu untuk konteks pemilihan umum Amerika Serikat tahun 2016," kata Pacilio, juru bicara Twitter untuk urusan pemberitaan dan pemerintahan.

Pacilio mengutip berita dari majalah Time yang menunjukkan bahwa perbincangan di Twitter bisa memprediksi kemenangan bakal calon Partai Demokrat Hillary Clinton dan Partai Republik Donald Trump dalam konvensi di negara bagian Iowa pada bulan ini.

Para bakal calon dari Partai Demokrat dan Republik kini tengah bertarung memperoleh nominasi partai demi maju dalam pemungutan suara tanggal 8 November mendatang untuk menggantikan Presiden Barack Obama.

Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2016