New York (ANTARA News) - Masalah Papua dan iklim investasi yang dianggap belum kondusif di Indonesia masih menjadi pertanyaan utama yang kerap diajukan berbagai kalangan di Amerika Serikat, baik politisi, pelaku bisnis maupun akademisi. "Kalangan politisi memang kebanyakan menanyakan soal reformasi militer di Indonesia, keberadaan kelompok radikal, soal kekerasan dan masalah Papua. Kalau pebisnis, ya soal iklim investasi yang belum kondusif ," kata Dubes RI untuk Amerika Serikat, Sudjadnan Parnohadiningrat, di Washington, D.C, ketika dihubungi ANTARA-New York, Kamis. Sudjadnan ditanyai soal hasil kunjungan terkini yang dilakukannya ke Negara Bagian Colorado pada 21-23 Februari, untuk berdiskusi dengan berbagai kalangan soal hubungan bilateral Amerika Serikat dengan Indonesia. Kunjungan dengan tujuan serupa sebelumnya telah dilakukan Dubes RI ke sejumlah negara bagian lainnya, antara lain California (kota Los Angeles), Georgia, Texas, Utah, dan New York. San Fransisco adalah kota selanjutnya di Negara Bagian California yang menjadi tujuan perjalanan atau 'road-show' Sudjadnan pada minggu ini. Saat berada di Denver, Dubes Sudjadnan bertemu dengan Gubernur Colorado Bill Ritter, anggota parlemen dan Senat AS asal daerah pemilihan Colorado, kelompok-kelompok usaha pertambangan dan energi, eksportir dan impotir, mahasiswa dan dosen University of Denver, serta masyarakat Indonesia. Khususnya soal Papua, para politisi, mahasiswa dan dosen kerap menanyakan bagaimana Pemerintah Indonesia menangani Papua -- isu yang sempat menjadi ganjalan dalam hubungan militer Indonesia-AS itu. Menurut Sudjadnan, dirinya menerangkan kepada mereka bahwa cara Jakarta menangani masalah Papua sudah jauh berbeda dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, terlihat dari otonomi khusus serta pembagian hasil pertambangan dalam jumlah besar untuk Papua serta perbaikan di bidang hak azasi manusia. Pada masa lalu, aku Sudjadnan, pemerintah dan militer Indonesia dilihat sebagai pelanggar berat HAM di Papua. "Tapi sekarang justru sebaliknya. Aparat keamanan bersikap hati-hati, namun menjadi korban pelanggaran HAM oleh oknum masyarakat," katanya. Ia mengacu kepada kasus pembantaian terhadap tiga polisi dan satu anggota TNI AU dalam bentrokan massa Front Pembela Rakyat Papua dengan pasukan keamanan di jalan dan halaman kampus Universitas Cendrawasih, Jayapura, Papua, pada Maret 2006, menyusul aksi unjukrasa ratusan warga dan mahasiswa di Abepura, Jayapura, yang menuntut penutupan penambangan emas PT Freeport Indonesia di Timika. "Kepada (anggota Kongres, red) Congressman dan Senator tanpa ragu-ragu saya katakan bahwa ketahuilah, sekarang justru sebaliknya, pihak pasukan pemerintah berhati-hati, tapi justru mengalami serangan brutal, aparat tewas dalam keadaan dimutilasi (dibantai, red)," ujarnya. Pengakuan Patsy Selama kunjungannya di Colorado, Dubes RI didampingi oleh Patsy Spier, janda guru AS di sekolah internasional Freeport di Timika, Papua, Rick Spier. Rick Spier bersama rekannya -- satu warga AS dan satu WNI -- menjadi korban tewas dalam penembakan yang terjadi Timika pada 31 Agustus 2002 . Patsy, yang juga berprofesi sebagai guru, adalah salah satu dari 11 orang dari rombongan guru yang selamat dalam insiden tersebut. Saat mendampingi Sudjadnan bertemu dengan berbagai kalangan di Colorado, Patsy ikut menerangkan duduk persoalan secara rinci kasus penembakan di Timika dan bagaimana polisi Indonesia dan Biro Investigasi AS (FBI) bekerja sama dalam mengungkap pembunuhnya. Patsy sendiri, seperti diungkapkan Sudjadnan, menyatakan puas terhadap mekanisme peradilan Indonesia dalam mengadili pelaku penembakan, termasuk dengan dijatuhkannya vonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2006 lalu kepada Antonius Wamang, terdakwa kasus penembakan dua warga negara AS di Timika, Papua, dengan hukuman pidana penjara seumur hidup. Dalam kesempatan berdialog dengan berbagai kalangan, Patsy yang merupakan warga kota Centennial, Colorado, menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan dan ia mengajak Pemerintah maupun masyarakat AS untuk benar-benar adil dalam menilai masalah Papua saat ini. (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2007