Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Pelayaran, Capt TW Gerilyanto SH, M.Mar yang menjadi Ketua Majelis Hakim dalam persidangan kasus Kapal Motor (KM) Senopati Nusantara, membacakan putusan sidang sambil terisak haru. "Betul saya membaca keputusan dengan sangat terharu, karena saya pelaut. Saya tahu persis bagaimana melaksanakan tugas," kata Gerilyanto dalam jumpa pers usai persidangan di Kantor Mahkamah Pelayaran di Jakarta, Senin. Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Pelayaran memutuskan memberi hukuman kepada Tersangkut Nakhoda Nakhoda Kapal KMP Senopati Nusantara Wiratno Tjendanawasih (53 tahun) berupa pencabutan sementara Sertifikat Keahlian Pelaut ANT-III selama lima bulan dan membebaskan Tersangkut Mualim II Muhammad Hatta (32), dan Mualim III Agus Sunariyadi (31) dari sanksi hukuman. "Saya pernah menjadi Syahbandar, saya tahu persis bagaimana menjalankan tugas sebagai syahbandar. Saya pernah menjadi Marine Inspector, saya tahu bagaimana melaksanakan tugas, dan saya juga pernah menjadi Administrator Pelabuhan. Dan sekarang dihadapkan sebagai Ketua Majelis untuk memutuskan sesuatu," kata Gerilyanto. Selain menggunakan bukti-bukti pemeriksaan dan hasil penyelidikan terhadap saksi-saksi, Gerilyanto mengatakan Majelis Hakim menggunakan keyakinannya untuk memutuskan perkaran ini. "Dan keyakinan itu akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha kuasa dan saya yakin itu adalah tepat, karena saya adalah nakhoda yang telah berlayar selama 10 tahun. Saya tahu persis bagaimana nakhoda harus bersikap," kataa dia. Dalam kasus KM Senopati Nusantara ini, Ketua Mahkamah Pelayaran mengatakan pihaknya mengalami kesulitan untuk memutuskan perkara tersebut, karena sangat terbatas dan tidak jelasnya peraturan mengenai pelayaran dan kapal penumpang di Indonesia. "KMP Senopati itu dikeluarkan sertifikat yang dengan ketentuan yang tidak jelas. Kalau ketentuan tidak jelas, bagaimana masyarakat bisa mengikuti atau bagaimana Marine Inspector memeriksa dengan baik," kata Gerilyanto. Dia melanjutkan dengan kondisi tidak jelasnya peraturan pelayaran tersebut, nakhoda akan menjadi pihak yang rentan menjadi korban. "Saya tidak bisa memberikan yang maksimal, karena keterbatasan yang berkaitan dengan regulasi, dan keterbatasan kemampuan nakhoda di dalam menerima ilmunya, sehingga dalam kasus ini kesalahan yang melatarbelakangi adalah nakhoda tidak bisa menilai situasi kritis," kata Gerilyanto. Dia melanjutkan Nakhoda tidak tepat dalam menilai situasi kritis, sehingga nakhoda KM Senopati Nusantara terlambat untuk bertindak yang mengakibatkan adanya korban jiwa meninggal. "Situasi kritis itu seharusnya ada pelajarannya, menurut STC Amandemen 95. Tetapi di dalam negeri, hal itu belum dipopulerkan dan belum diadakan," katanya. Berkaitan dengan hal tersebut, kata Gerilyanto, Mahkamah Pelayaran akan meneruskan keputusan ini kepada Menteri Perhubungan agar dipelajari dan ditindaklanjuti. Dalam keputusan sidang, Mahkamah Pelayaran juga menyatakan memandang perlu untuk diadakannya penyusunan dan penyempurnaan peraturan perudang-undangan keselamatan kapal. "Kedua, meningkatkan pengawasan dan disiplin kepada para pejabat dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga, penempatan pejabat sesuai dengan keahlian dan kecakapan," kata Gerilyanto membacakan kesimpulan Mahkamah Pelayaran dalam persidangan. Selain itu, Mahkamah Pelayaran juga mengharapkan adan peningkatan pengawasan dan pembinaan serta kompetensi di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007