Jakarta (ANTARA News)  - "Pembangunan demokrasi akan gagal oleh praktik korupsi saat ada persekongkolan elit politik dan konglomerat. Kondisi ini bisa menggagalkan pembangunan demokratisasi."

Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, mengemukakan hal itu dalam seminar anti-korupsi baru-baru ini di Jakarta.

Seminar "Anti-Corruption and Democracy Outlook 2016: Bersama Melawan Korupsi" itu diselenggarakan  Transparency International Indonesia (TII).

Dia mengemukakan, pemerintah optimistis bahwa Corruption Perception Index (CPI) Indonesia akan mencapai skor 50 pada 2019  dan indeks kemudahan bisnis pada level 40.

Pada 2015, Indonesia meraih skor 36 (0 sangat korup dan 100 sangat bersih) dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia ini naik 2 poin namun dalam peringkat naik signifikan yaitu 19 peringkat dari 2014.

Langkah pemerintah menuju target tersebut antara lain adalah mengubah tata kelola BUMN menjadi holding company. "Agar bisa keluar dari perangkap sapi perah yang hampir membuat frustasi, sehingga tangan-tangan yang mau ikut campur di BUMN bisa dieliminasi," kata Teten.

Selain itu upaya penerapan transaksi non-tunai dalam pengadaan barang dan jasa lembaga pemerintah juga akan segera diimplementasikan.

"Penerapan transaksi non-tunai sudah disetujui presiden dan kalau terjadi, saya kira praktik korupsi 90 persen ditangani KPK terkait pengadaan barang dan jasa bisa diatasi. Akibat lanjutan, kehadiran infrastruktur publik yang baik akan menghadirkan pemerintahan yang bersih," tukas Teten.

Teten mengakui bahwa tantangan terbesar dalam upaya-upaya perbaikan birokrasi tersebut adalah untuk mempertahankan KPK dan reformasi sistem penegakan hukum.

"Kita tahu ada peluang dari berbagai sudut untuk melemahkan KPK, mulai dari penyusunan undang-undang KPK, pengangkatan komisioner, pengangkatan penyidik dan lainnya. Terlalu banyak peluang melemahkan KPK," tambah Teten.

Pembicara lainnya dalam seminar tersebut, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, mengakui bahwa sistem demokrasi Indonesia masih prosedural dan belum masuk ke demokrasi substantif sehingga belum dapat menghadirkan CPI yang baik seperti negara-negara Skandinavia yaitu Denmark dan Norwegia yang kerap menduduki peringkat atas CPI.

"Denmark dan Norwegia yang demokrasinya sudah bagus, nilai antikorupsinya juga tinggi. Mungkin dari segi prosedur kita sudah lumayan bagus, tapi dari sisi substansi kita masih rendah, jadi jangan heran CPI kiat rendah dan lebih penting lagi perlu. Kualitas tata kelola undang-undang kita sangat jelek," kata Laode dalam acara yang sama.

Ia mencontohkan di kota Sorong, Papua Barat. Ia mendapati hanya wali kota dan Ketua DPRD yang merupakan istri dari Wali Kota yang dapat mengakses APBD kota tersebut, sedangkan perangkat pemerintah lain tidak punya akses.

"This is the quality of our democracy, kalau mau memberantas demokrasi, cerita seperti itu seharusnya tidak terjadi. Di Madura juga seperti itu, bupati yang terkena narkoba juga anak mantan bupati sehingga korupsi dan demokrasi betul-betul sangat nyata adanya karena itu di KPK sangat penting untuk membicarakan soal ini," katanya.

Dia mengatakan, KPK sebagai lembaga tidak mungkin menyelesaikan semua itu sendiri, jumlah penyelidik dan penyidik kurang dari 200 orang. Setiap tahun ada 60-80 kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan.

"Kalau 365 hari dibagi 80 kasus maka setiap lima hari ada kasus korupsi baru KPK yang dibawa ke pengadilan. Apakah ini sudah mencapai seluruh Indonesia? Tentu tidak karena laporan dari masyarakat ada 7.000-8.000 laporan. Kami harap polisi dan kejaksaan juga lebih berperan dalam pemberantasan korupsi," jelas Laode.

Laode menegaskan perlunya penguatan kelembagaan demokrasi yang bukan hanya prosedural di DPR, DPD dan kepala daerah tapi juga perbaikan partai politik.

"Satu hulu adalah partai politik, pencalonan sesorang di pilkada cenderung kepada figur karena muaranya uang, dan memicu korupsi politik, korupsi sumber daya alam dan tambang yang berkelindan dengan korupsi politik. Pendanaan partai harus diperkuat, bukan untuk oligarki partai tapi untuk memperkuat eksistensi publik," ungkap Laode.

"Zero Tolerance"

Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini dan ASEAN Casper Klynge menyatakan bahwa salah satu resep Denmark mencapai peringkat pertama CPI dua tahun berturut-turut adalah prisip "zero tolerance" terhadap korupsi.

"Salah satu jawaban perjalanan melawan korusi dari pemerintah, media dan masyarakat sipil menerapkan zero tolerance to corruption. Indonesia harus bisa mencari model terbaik. Bagaimana masyarakat biasa menyatakan tidak terima korupsi itu harus kuat dan menjadi fundamental untuk melawan korusi," kata Casper.

Casper juga mengatakan bahwa meski Denmark tidak punya lagi lembaga seperti KPK, namun semua fungsi KPK hadir dalam lembaga pemerintahan di Denmark.

"Kami sudah lama tidak punya KPK lagi, tapi ada fungsi seperti KPK di setiap institusi. Setiap pegawai dan diplomat bahkan harus mengikuti pelajaran antikorupsi sebelum ditugaskan, kami punya hotline untuk pelaporan korupsi dan laporan tahunan untuk tingkat korupsi. Bila ada sektor swasta yang merasa dipersulit oleh lembaga pemerintah maka mereka dapat membuat laporan langsung," ungkap Casper.

Casper menegaskan bahwa melawan korupsi adalah kunci untuk mendorong pembangunan ekonomi karena memberikan rasa kepercayaan kepada para pebisnis.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2016