Surabaya (ANTARA News) - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan RI, Arminsyah, meraih predikat "cumlaude" (lulus dengan pujian) di Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

"Selama ini dalam menangani tindak pidana korupsi, kita hanya melihat pelaku dari unsur keterlibatan dan pengetahuan," katanya setelah menerima penghargaan di Aula Fakultas Hukum Unair Surabaya, Jumat.

Mantan Jaksa Agung Muda Intelejen (JAM-Intel) yang meraih Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,92 itu menulis disertasi berjudul "Redefinisi Hukum Konsep Kesengajaan dalam Tindak Pidana Korupsi".

"Dalam menangani kasus tindak pidana korupsi tidak hanya dua unsur tersebut, jadi penetapan sebagai pelaku tidak hanya berdasarkan kedua hal itu. Korupsi akan terjadi apabila orang itu sengaja dan memiliki niat untuk melakukannya," katanya.

Dalam Yudisium Program Pascasarjana Hukum Unair itu, penerima penghargaan sebagai lulusan terbaik dari Program Pascasarjana Unair itu mengatakan korupsi di Indonesia sudah ada dimana-mana, ibarat sudah jadi budaya, tetapi belum tentu orang yang berada di lingkungan korupsi itu melakukan tindakan korupsi.

"Seseorang bekerja sebagai bendahara dan ditugasi membuat perubahan anggaran sesuai permintaan atasannya, namun bendahara tidak berani menolak perubahan anggaran. Ketika ada audit, bendahara terkena kasus korupsi karena anggaran dibuat oleh dia," katanya.

Ia mengibaratkan hal itu seperti orang puasa pada hari pertama yang minum karena lupa dan tidak tahu. "Apakah dia bersalah tentu tidak karena lupa? Begitu juga ketika menangani kasus korupsi, maka tidak bisa kita melihat dia salah karena dalam kenyataannya dia minum ketika puasa," jelasnya.

Contoh kasus yang ada adalah Akbar Tanjung. Dalam kasus penyaluran dana non-budgeter Bulog sebesar Rp40 miliar, Akbar Tanjung yang menjabat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) disalahkan karena dianggap merugikan negara.

"Ternyata pihak bawahannya tidak melanjutkan pembagian sembako ke masyarakat miskin, padahal disitu Akbar Tanjung tidak mengetahui penggunaan di bawahnya dengan sengaja atau tidak. Hal itu yang harus dikaji dalam penetapan tersangka," kata dia.

Arminsyah yang lahir di Padang pada 3 Mei 1960 itu menuturkan guna membuktikan kesengajaan pelaku korupsi, maka seorang jaksa ataupun hakim bisa melakukan dengan tiga pendekatan, diantaranya pendekatan koherensi, pembuktian dengan pendekatan linguistik atau ilmu kebahasaan, dan pembuktian dengan psikologi.

"Pendekatan koherensi yang dimaksud mengkaji dan menganalisis kekonsistenan keterangan dan pengalaman tersangka. Semakin banyak pengalaman, maka indikasi kesengajaannya makin meningkat," tuturnya.

Untuk pembuktian dengan pendekatan linguistik atau ilmu kebahasaan harus dikaji kebenarannya lewat struktur informasi dan keterangan tersangka.

"Pembuktian dengan pendekatan psikologi mulai dari menganalisis keutuhan, kekonsistenan pikiran, perbuatan, dan tindakan pelaku," katanya.

Ia menambahkan beberapa kejaksaan sudah menerapkan pola itu, namun belum menyeluruh. "Saya berharap semua jaksa bisa menerapkannya ketika menangani Tipikor," tandasnya.

Pewarta: Indra Setiawan dan Laily Widya
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2016