Jakarta (ANTARA News) - Partai Demokrat (PD) khawatir dengan RUU tentang Kementerian Negara yang sedang dibahas DPR RI dan mendesak agar pembahasan RUU itu dihentikan serta RUU dibatalkan, sementara partai itu sendiri akan berusaha "habis-habisan" menggagalkan pembahasan RUU itu. "Saya kira RUU Kementerian Negara itu tidak perlu dilanjutkan lagi dan bagusnya dibatalkan saja," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Syarif Hasan di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Selasa. Partai pendukung pemerintah ini beranggapan bahwa tanpa persetujuan dari pemerintah, RUU Kementerian Negara tidak bisa dilanjutkan. Menurut Syarif, pihaknya akan "all-out" (habis-habisan) untuk menggagalkan pembahasan RUU Kemementerian Negara dalam Pansus yang dipimpin anggota dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunadjar Sudarsa ini. "Boleh-boleh saja RUU ini dilanjutkan pembahasannya, tapi tidak boleh ada intervensi terhadap hak presiden. Jangan yang sudah domain pemerintah dicampuri lembaga lain," katanya. Syarif mengakui memang dibutuhkan UU yang mengatur kementerian sesuai yang diamanatkan Pasal 17 ayat 4 UUD 1945. Namun, jangan sampai UU itu membatasi hak presiden. "Apalagi di UUD 1945 juga diatur soal hak prerogratif. Masak satu kaki dilepas, satu kaki lainnya diikat," katanya. Mengenai batas waktu yang diajukan Pansus RUU Kementerian Negara DPR yang tinggal sepekan lagi agar pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Syarif menyatakan hal itu tergantung kesiapan pemerintah. "Pokoknya jangan sampai ada institusi lain yang campuri hak prerogratif presiden seperti yang termuat di RUU itu. Misalnya aturan pembentukan menteri harus izin, `proper test` dan disetujui DPR," katanya. Syarif menyatakan, kesulitan lain jika RUU versi DPR itu diberlakukan adalah jika nanti seorang menteri sudah tak diinginkan lagi oleh presiden, akan sulit jika ingin cepat diberhentikan. "Karena harus minta izin dulu ke DPR, ini bisa berlangsung lama atau berlarut-larut," katanya. Syarif menegaskan, sistem yang dianut Indonesia saat ini adalah presidensil dan bukan parlementer. "Apalagi belum-belum sudah muncul wacana lain yakni soal lembaga kepresidenan. Apa nanti presiden harus diatur DPR, kalau seperti itu apa memang sudah mau menjadikan mekanisme baru atau sistem baru di Indonesia," katanya. Disinggung mengenai munculnya rumor bahwa RUU Kementerian Negara ini merupakan "bargaining" Partai Golkar untuk menambah jatah menterinya di kabinet jika terjadi reshuffle, Syarif enggan menanggapinya. "Kami belum tahu garis politik Golkar. Apakah ini dikaitkan dengan soal reshuffle atau lainnya," katanya. Sementara itu, dua partai lain pendukung pemerintah di kabinet, Partai Golkar dan PAN, setuju dengan RUU Kementerian Negara. Ketua DPR Agung Laksono yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar meminta agar pemerintah tidak apriori dengan RUU Kementerian Negara. RUU itu merupakan perintah amendemen ketiga UUD 1945 dan kekhawatiran itu bisa diselesaikan dengan cara dialog antara pemerintah dan DPR. "Sangat disayangkan ini menjadi polemik, padahal ini baru RUU. Jangan dulu apriori, ini bisa diperbincangkan karena ini perintah konstitusi. RUU Kemementerian Negara ini sebenarnya tidak berniat mereduksi kekuasaan presiden, tapi hanya mengatur rambu-rambu sehingga presiden terpilih itu tidak semena-mena mengubah atau membubarkan sebuah departemen," kata Agung. Senada dengan Agung, Ketua Fraksi PAN DPR Zulkifli Hasan menyatakan pada prinsipnya UU Kemneg memang harus ada karena merupakan amanat konstitusi. Dengan UU tersebut, lembaga kementerian negara memiliki eksistensi yang kuat dan tidak bisa dibentuk atau dibubarkan mengikuti selera rezim yang berkuasaan. "Tidak perlu ada pihak yang khawatir UU tersebut akan mengebiri kewenangan presiden atau merusak sistem presidenssil," katanya. DPR, kata Zulkifli, hanya akan terlibat untuk diminta persetujuan dalam hal menentukan departemen atau kementerian. "Karena hal itu terkait dengan masalah anggaran yang merupakan wewenang DPR, namun untuk penunjukan dan pengangkatan menteri, sepenuhnya wewenang presiden," katanya. Zulkifli menyatakan, pemerintah dan DPR memang memiliki perbedaan tajam dalam menafsirkan pasal 17 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi: pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU. "Karena itu pemerintah dan DPR harus duduk bersama membahas ini," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007