Takengon, Aceh (ANTARA News) - Sebanyak 3.502 kepala keluarga (KK) masyarakat korban konflik di Aceh Tengah dikabarkan kini hidup luntang-lantung karena tidak memiliki lagi rumah tempat tinggal serta sumber ekonomi untuk menghidupi keluarganya. "Mereka kini tinggal terpencar di berbagai pelosok desa dengan membangun gubuk sendiri secara darurat menumpang di atas tanah milik orang lain," kata Kepala Dinas Keluarga Sejahtera dan Kesejahteraan Sosial (KSKS) Aceh Tengah Fakhruddin di Takengon, Rabu. Kondisi kehidupan mereka kini cukup memprihatinkan, yang tidak mampu bekerja keras karena faktor usia lanjut terpaksa menjadi pengemis, sementara ratusan anak-anak mereka usia sekolah telah meninggalkan bangku pendidikan. "Yang lebih mamprihatinkan, ada di antara perempuan janda korban konflik terpaksa menjual harga diri untuk untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya," tambah Fakhruddin. Pada awal tahun 2006, ke 3.502 KK korban konflik memperoleh jatah hidup (Jadup) dari badan pangan dunia (WFP) selama sepuluh bulan, namun kini sudah tidak ada lagi, sehingga mereka menjadi pengemis dan buruh bangunan. Menurut Fakhruddin, selain 3.502 KK tersebut masih ada sekitar 400 jiwa lainnya luput dari pendataan dan mereka ini tinggal di berbagai pelosok desa perdalaman Aceh Tengah, sebagian diantara wanita janda korban konflik. Sebetulnya, sebelum konflik mereka sudah hidup mapan dari mengelola perkebunan kopi arabika serta memiliki rumah tempat tinggal laik di desanya masing-masing, namun kini sumua harta yang dimilikinya sudah tidak ada lagi (hancur). "Kebun kopi yang dimilikinya sudah mati diselimuti rumput, sedangkan rumah tempat tinggal habis terbakar," katanya. Upaya pemulangan kembali mereka ke desa asalnya masing-masing sudah pernah dilakukan Pemkab Aceh Tengah dan hanya sebagian kecil yang bersedia, sedangkan lainnya menyatakan masih trauma karena teringat suami atau anaknya dibunuh orang tidak dikenal di depan matanya. "Sebagian mereka (korban konflik), terutama perempuan janda kini lebih banyak tinggal di pinggiran kota Takengon, ibukota Aceh tengah dengan profesi hari-hari sebagai pengemis," demikian Fakhruddin.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007