Jakarta (ANTARA News) - Dari sekira 70 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia, 90 persennya tidak mendapatkan kesempatan menjalani pengobatan yang layak seperti dialisis (cuci darah) maupun tranplantasi (pencakokan). "Dan hanya sekitar 500 pasien yang menjalani terapi pencangkokan ginjal," kata Dr. David Manuputty, SpB, SpU(K), ahli transplantasi ginjal Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo/Rumah Sakit PGI Cikini di Jakarta, Jumat. Kondisi itu, menurut Dr David Manuputty, SpB, SpU (K) ahli transplantasi ginjal Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusumo, terjadi akibat masih minimnya infrastruktur, sedikitnya pendonor ginjal, serta mahalnya biaya pengobatan. Menurut laman www.globaldialysis.com, jumlah pusat cuci darah di seluruh Indonesia hanya sekitar 50 dan jumlah pendonor ginjal setiap tahunnya hanya 15 orang, sementara kebutuhan ginjal untuk transplantasi 2.000. Faktor lain, katanya, pasien gagal ginjal bukanlah peserta asuransi kesehatan dan sejenisnya seperti Asuransi untuk Masyarakat Miskin (Askeskin)/Program Keluarga Miskin (Gakin) sehingga mereka harus membayar sekira Rp400 ribu hingga Rp600 ribu setiap kali dialisis, padahal penderita harus melakukan dialisis antara dua hingga tiga kali dalam sepekan. Sedangkan untuk mendapatkan transplantasi ginjal, menurut dia, pasien harus mengeluarkan biaya antara Rp80 juta hingga Rp200 juta serta selanjutnya harus mengonsumsi obat yang harganya mencapai Rp13 juta per bulan selama dua tahun pertama pasca transplantasi. "Tapi itu untuk yang bukan peserta Askeskin atau Gakin, kalau peserta semuanya gratis," ujarnya pada acara diskusi tentang penyakit ginjal kronik yang diselenggarakan dalam rangka memeringati hari ginjal internasional. Selain faktor biaya, menurut dr.David, sebagian besar penderita penyakit ginjal kronik juga tidak mendapatkan terapi yang dibutuhkan karena tidak memiliki pengetahuan memadai tentang penyakit ginjal kronik dan terapi pengobatannya. "Banyak masyarakat yang tidak tahu, sehingga mereka tidak mengakses pengobatan dan banyak yang takut mendonorkan ginjal," kata dokter ahli yang sudah lebih dari 300 kali melakukan transplantasi ginjal itu. Oleh karena itu, Indrawati menambahkan, sosialisasi tentang penyakit ginjal dan terapi pengobatannya harus terus dilakukan supaya masyarakat bisa memahami faktor resiko dan berusaha menghindarinya serta menjalankan terapi pengobatan dengan bantuan profesional bila mengalaminya. "Penyakit ini berbahaya, tapi dapat dicegah. Salah satunya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan ginjal," katanya. Kesehatan ginjal, menurut dia, dapat dijaga dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, menghentikan kebiasaan merokok, berhati-hati menggunakan obat antinyeri jenis anti-inflamasi non steroid, serta mempertahankan berat badan ideal dengan mengonsumsi makanan sehat dan melakukan aktifitas fisik yang cukup.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007