New York (ANTARA News) - Indonesia, yang diwakili Waka RSPI Sulianti Saroso, Dr. Sardikin Giriputro, Rabu, menyampaikan laporan soal kasus flu burung dan upaya penanganannya di Indonesia dalam KTT Flu Burung ke-4 di Washington, yang dihadiri pejabat kesehatan publik, penentu kebijakan, peneliti, dan pimpinan perusahaan dari sekitar 30 negara. Menurut Sardikin yang dihubungi ANTARA New York di sela-sela pelaksanaan KTT yang berlangsung dua hari itu, pihaknya menerima berbagai pertanyaan tentang bagaimana flu burung (avian influenza/AI) ditangani Indonesia -- negara yang hingga kini telah kehilangan setidaknya 64 orang penduduknya dalam kasus virus H5N1 itu. Pertanyaan dari berbagai pihak asing berkisar pada berita terakhir soal Indonesia yang masih belum bersedia mengirimkan contoh virus flu burung ke Badan PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO). Dalam interaksi di sela-sela KTT dengan Sardikin, pejabat WHO sendiri mengajukan pertanyaan soal bagaimana keberhasilan pemusnahan unggas di Indonesia. "Indonesia justru belum cukup berhasil menuntaskan masalah ini (kasus flu burung, red). Kita harus belajar dari negara-negara lain, terutama Vietnam dan Thailand," kata Sardikin. Thailand dan Vietnam termasuk negara-negara yang pernah mengalami kasus flu burung cukup parah, namun telah berhasil menanganinya. Thailand sejak 2003 hingga 2006 telah menemukan 25 kasus flu burung terhadap manusia dengan 17 kematian di antaranya, namun angka tersebut terus menurun. Menurut data WHO hingga 12 Maret 2007, Thailand sudah tidak mengalami kasus. Vietnam bahkan menunjukkan perbaikan yang lebih signifikan. Sejak kasus flu burung merebak di negara komunis tersebut pada 2003 yang menewaskan tiga orang, Vietnam kemudian mengalami kasus flu burung pada manusia paling parah pada 2004 dan 2005, yaitu 29 kasus dengan 20 kematian (2004) dan 61 kasus dengan 19 kematian (2005). Namun sepanjang tahun 2006 dan hingga 12 Maret 2007, tidak ada satupun kasus flu burung terhadap manusia yang ditemui di Vietnam. Di Indonesia sendiri, masa-masa paling parah untuk kasus flu burung adalah pada 2005 dan 2006. Pada 2005, dari 19 kasus yang ditemukan, 12 di antaranya berakibat kematian pada manusia. Sedangkan pada 2006, dari 56 kasus, 46 orang meninnggal dunia. Sardikin sendiri menekankan bahwa tiap negara tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam menghadapi masalah flu burung dan karena itu semua pihak memerlukan kerjasama internasional. "Prinsipnya, negara maju harusnya membantu negara yang sedang berkembang, misalnya kemudahan akses untuk obat atau vaksin. Jangan sampai kita mengirim (sampel) terus, tapi tidak bisa membeli atau mengakses vaksin," katanya. Dalam laporannya di depan para peserta KTT, Sardikin antara lain memaparkan jumlah pasien flu burung yang sudah ditemukan di Indonesia, sumber-sumber penularan, dan lokasi penyebaran kasus tersebut. Menurut data yang dikemukakannya, sejak 2005 hingga akhir Februari 2007, sudah 81 kasus yang ditemukan terhadap pasien, 64 di antaranya meninggal dunia. Dalam dua minggu terakhir ini, kata Sardikin, tidak ada kasus flu burung yang ditemukan oleh RSPI Sulianti Saroso. "Sejak terjadinya banjir (di Jakarta) beberapa waktu lalu, tidak ada positif. Kalaupun ada yang dirawat, hanya `suspect`," (*)

Pewarta: muhaj
COPYRIGHT © ANTARA 2007