Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyoalkan ketidaksamaan data pangan nasional yang ada saat ini. "Saya kira yang paling jadi soal adalah data. Di militer, data intelijen itu penting untuk tahu berapa jumlah musuh, amunisi dan lainnya. Kalau di sektor pertanian, data ini penting karena menyangkut perut," kata Ketua APINDO, Anton J Supit, di Jakarta, Senin. 

Bicara dalam diskusi bertema "Sengkarut Tata Kelola Pangan", dia menuturkan, selama ini masalah pangan masih terus berkutat dengan perbedaan data yang ada, terutama dari Badan Pusat Statistik (BPS).

"Data yang kita acu itu data BPS, kalau dibilang tidak percaya lalu siapa lagi? Tapi bagaimana acuannya?" katanya.

Menurut Supit, data BPS masih sarat kepentingan pejabat setempat seperti bupati, gubernur hingga tingkat menteri sehingga besar kemungkinan ada penyelewengan angka.

Bahkan dari data USDA sepanjang 2015-2016 yang dikutip, menyebutkan ada kelebihan lebih dari 1 juta ton beras, di mana pemerintah mengklaim 18 juta ton surplus. "Ini di mana surplusnya?" ujarnya.

Lebih lanjut, Supit mengatakan, sistem perekonomian Indonesia sudah mengarah pada sistem "ekonomi komando" sebagaimana terjadi di negara komunis, yaitu China dan Rusia. Salah satu indikasinya, instruksi harga daging sapi harus Rp80.000/kg, sementara saat ini harganya terus merangkak naik di atas Rp120.000/kg.

"Kita ini ekonomi pasar tapi tidak diatur baik. Tidak bisa juga diinstruksi daging Rp80.000, ini contoh inkonsistensi pemerintah," katanya. 

Menjelang Ramadhan ini, Presiden Jokowi telah memerintahkan tiga kementerian dan Bulog untuk menjadikan harga daging sapi di bawah Rp80.000/kg; langkah jalan pintasnya adalah membuka keran impor daging sapi padahal saban tahun selalu terjadi kecenderungan peningkatan permintaan tiap menjelang Ramadhan dan Lebaran. 

"Kita jangan fatal melakukan kesalahan melawan lasar seperti Rusia dan China. Coba cek berapa stok beras nasional yang didukung APBN? Tak cukup kalau terjadi paceklik. Kesalahan kesemrawutan ini datang dari pemerintah akibat perencanaan yang tidak jelas," katanya.

Ketua Forum Tani Indonesia, Wayan Supadno, dalam kesempatan sama, meminta para pejabat terkait berani jujur dalam mengumpulkan data pangan demi pertanian masa depan.

Menurut dia, pertanian merupakan kunci peradaban manusia di masa depan. Banyak ahli memetakan bahwa air, energi, dan pangan menjadi sumber utama konflik dunia yang bisa menjadi konflik bersenjata terbuka antar negara dan kawasan. 

"Ibarat dokter, ini terjadi diagnosa yang salah. Akhirnya resepnya salah, ujungnya tidak berhasil karena datanya salah," ucapnya. 

Pewarta: Ade Junida
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2016