Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara, Prof,Dr. Syafruddin Kalo,SH.M.Hum, mengatakan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) hotel Hilton diterbitkan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga sah secara hukum dan tidak merugikan negara. "Menurut jaksa HGB tidak sah, tapi menurut bukti fisik maupun yuridis itu sudah dilengkapi, prosedur sudah dijalankan, maka perpanjangan HGB sah," katanya sebagai saksi ahli di sela sidang kasus HGB hotel Hilton di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa. Menurut dia, pengelola Hilton telah menaati prosedur penerbitan dan perpanjangan HGB yang berlaku, seperti mengajukan permohonan perpanjangan dua tahun sebelum HGB habis, HGB perpanjangan masih sesuai dengan peruntukkannya sebagai hotel, serta pengelola Hilton adalah warga negara dan badan hukum Indonesia. Lebih lanjut, dia mengatakan justru Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kawasan Hilton oleh Sekretatariat Negara (Setneg) yang dipertegas melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 169/HPL/BPN/89 tahun 1989 adalah produk yang cacat hukum. Hal itu, menurut dia, disebakan HPL tidak bisa diterbitkan atas tanah yang sudah dilekati hak lain, dalam hal ini adalah HGB Hilton. "Pemegang HPL harus membebaskan hak-hak di atasnya. Sepanjang belum bebas, HGB itu tetap berlangsung," kata Syafruddin melanjutkan. Keputusan Kepala BPN itu diantaranya menyatakan bahwa kawasan Hilton akan dikelola oleh Setneg setelah HGB hotel Hilton habis pada 2003. Meski telah dikeluarkan aturan tersebut, permohonan perpanjangan HGB Hilton yang dimohonkan dua tahun sebelum HGB habis dikabulkan oleh BPN. Lebih lanjut, Syafruddin mengatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus Hilton. Hal itu disebabkan PT Indobuildco sebagai pengelola hotel Hilton telah membayarkan kontribusi kepada kas negara. Pendapat Syafruddin itu berbeda dengan apa yang diungkapkan Kepala Auditorat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Gunawan Sidauruk. Bertindak sebagai saksi ahli dalam persidangan sebelumnya, Gunawan menjelaskan kerugian yang dialami negara diakibatkan oleh berkurangnya luas HPL atas nama Sekretariat Negara akibat diperpanjangnya HGB No 26 dan 27 atas nama PT Indobuildco yang tidak berdiri di atas HPL. Gunawan mengatakan, aset negara di kawasan Gelora Senayan yang dikelola oleh Setneg dicatat dalam neraca kekayaan negara pada bagian inventarisasi lainnya. Setneg, kata Gunawan, setiap tahun wajib melaporkan aset kekayaan negara yang dikelolanya. Perpanjangan HGB Hotel Hilton atas nama PT Indobuildco yang tidak berdiri pada HPL, menurut dia, jelas mengurangi HPL yang dimiliki oleh Setneg. "Dengan berkurangnya HPL itu, maka jelas mengurangi aset kekayaan negara, dalam hal ini aset milik Setneg," ujarnya. Kasus yang menyeret Direktur Utama PT Indobuildco Pontjo Sutowo dan kuasa hukum perusahaan tersebut, Ali Mazi sebagai terdakwa dinilai merugikan keuangan negara atas kepemilikan hak pengelolaan senilai Rp1,936 triliun, dengan dasar perhitungan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto tahun 2003.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007