Jakarta (ANTARA News) - Kelompok negara berkembang G-33 mendesak untuk segera dikembalikannya perundingan WTO ke tingkat multilateral. "Kita tidak bisa menunggu terlalu lama untuk proses-proses informal untuk menunggu `breaktrough` (terobosan). Kalau tidak terjadi harus dikembalikan ke proses multilateral," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang juga Koordinator G-33, pada wartawan usai pertemuan tingkat menteri G-33 di Jakarta, Rabu. Jika perundingan Putaran Doha tersebut tidak segera diselesaikan (mencapai kesepakatan), lanjut Mari, maka kemungkinan baru akan bisa dilanjutkan dalam satu atau dua tahun mendatang. "Kalau tidak berhasil akan banyak kerugian. Semua kelompok sepakat ini harus selesai sesegera mungkin dan negosiasi ini dikembalikan ke tingkat multilateral supaya tidak ada deal-deal di luar negosiasi multilateral yang merugikan kita," jelasnya. Pertemuan yang dihadiri oleh 29 perwakilan negara anggota G-33 itu menghasilkan komunike bersama yang pada pokoknya mendorong kelanjutan perundingan perdagangan global yang memfokuskan pada isu pembangunan. "Intinya kita menyampaikan kepentingan G-33 bahwa di satu sisi bisa memperoleh akses pasar dengan dikurangi subsidi ekspor maupun domestik oleh negara maju tapi kita juga punya hak untuk melindungi petani kita terkait ketahanan pangan dan kemiskinan,"paparnya. Untuk itu, lanjut dia, G-33 telah merevisi indikator kriteria Special Products (SP) menjadi lebih sederhana dan transparan. "Kita telah merevisi indikator ketahanan pangan dan kemiskinan dan kita telah melakukan kemajuan karena telah menunjukkan fleksilbilitas kita, tapi yang paling adil negara maju harus tunjukkan kepemimpinan mereka," ujarnya. Besaran persentase pos tarif yang masuk kategori SP, tetap 20 persen. Bagi Indonesia, empat komoditi yang pasti masuk dalam kategori SP adalah beras, gula, jagung dan kedelai. Mari menyebutkan beberapa indikator kriteria SP antara lain produk yang dikonsumsi sebagai makanan pokok yang diproduksi di dalam negeri, luas lahan, serta ada kategori produk andalan wilayah tertentu. Saat ini, lanjut Mari, negara maju (AS dan UE) masih belum membuka penawaran penurunan subsidi yang dinilai signifikan. "Angka belum muncul, UE misalnya sudah mau turunkan dari 39 persen sampai lebih dekat ke 50 persen sesuai permintaan kita di G-20 (rata-rata 54 persen). AS belum keluar dengan spesifikasi angka walaupun sudah menyampaikan indikasi mau menurunkan tingkat subsidinya,"tuturnya. "`Deadline`-nya kurang lebih selesai akhir tahun, berarti sudah harus mencapai modalitas negosiasi, sedangkan kita belum selesai," ujarnya.

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007